Perjalanan ini dibuka oleh pertanyaan mengagetkan oleh kru bagian check-in maskapai "Singapore Airlines" di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng: "Bapak mau ke Geneva, boleh lihat visa Swiss di paspor Bapak?" "Saya tidak punya visa Swiss, tetapi hanya memiliki visa yang dikeluarkan Kedutaan Austria."
Belum yakin dengan jawaban yang didengarnya, kru itu bertanya pada atasannya di ruang dalam. Sang atasan pun keluar dan berkata, "Bapak harus punya visa Swiss karena Swiss bukan negara Schengen. Kami tidak ingin Bapak mendapat kesulitan setelah terbang dan mendarat di sana."
Perasaan dag-dig-dug dan keheran-heranan membersit di dada. Khawatir hanya gara-gara misinformasi, perjalanan ini bakal terbengkalai. Tidak ada waktu lain untuk berangkat selain Jumat (6/6) malam itu. Sabtu keesokan harinya, saya harus tiba di Geneva, minimal pukul 19.45 waktu setempat atau satu jam sebelum kick-off laga Portugal versus Turki di Stade de Geneve.
Kejadian itu memunculkan sebuah pertanyaan: mana mungkin Swiss dan Austria (panitia lokal Euro 2008) tidak menyosialisasikan hal-hal teknis dan penting semisal kebijakan soal visa terkait penyelenggaraan Euro 2008 pada maskapai-maskapai penerbangan yang mendarat di dua negara itu. Sebelum bergabung penuh sebagai anggota negara-negara Schengen per 12 Desember 2008, setiap orang harus mendapatkan visa Swiss untuk masuk negeri itu.
Namun, Pemerintah Swiss telah mengeluarkan keputusan bahwa selama Euro 2008 berlangsung (7-29 Juni 2008), pemegang visa Schengen yang dikeluarkan Austria bisa digunakan untuk memasuki Swiss terkait kunjungan Euro 2008. Melalui situs resmi, Swiss menyatakan bahwa visa khusus Euro 2008 itu hanya bisa dikeluarkan Austria setelah otoritas Swiss meneliti rekam jejak calon pemegang visa dari segi catatan kriminal, dan lain-lain.
Swiss sendiri tidak mau ribet menerbitkan sendiri visa Euro 2008 itu. Lewat situs itu pula, mereka akan meneruskan setiap aplikasi visa Euro 2008 yang diajukan ke kedutaan atau konsulat negara itu ke otoritas Austria. Seorang rekan dari tabloid olahraga yang juga mengurus visa tersebut bercerita, ia sempat datang ke kantor Kedutaan Swiss di Jakarta. Namun, petugas kedutaan itu memintanya agar mengurus langsung ke Kedutaan Austria.
Penjelasan singkat seputar visa Euro 2008 itu masih belum juga meyakinkan kru dan staf "Singapore Airlines". Mereka baru mulai menimbang-nimbang saat disodori print-out kebijakan seputar visa dari situs Pemerintah Konfederasi Swiss. Setelah melewati proses agak alot, keluarlah kartu boarding terbang menuju Swiss. Setelah transit di Singapura dengan SQ 967 E, perjalanan berlanjut ke Swiss bersama SQ 246 E.
* Gerimis di Zurich
Zurich, 7 Juni 2008, sekitar pukul 07.45. Dari jendela pesawat, landasan Bandara Internasional Zurich --dalam bahasa setempat bernama "Zurich Flughafen"-- terlihat basah. Sebelum roda pesawat menyentuh landasan, dari jendela itu pula terlihat pepohonan kehijau-hijauan.
Rumah-rumah warga terlihat menyibak pepohonan itu dan tidak terlalu padat, setidaknya tidak sepadat kompleks permukiman warga di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Aroma kaya dan serba-teratur negeri itu telah terasa saat keluar dari badan pesawat.
Begitu melangkah keluar, kaki ini langsung disambut garbarata berkarpet halus, empuk, dan bersih. Suasana area kedatangan di bandara itu sepi. Hanya dua atau tiga petugas yang berdiri di ujung garbarata. Seorang pria setengah baya memeriksa paspor setiap penumpang.
Swiss konon negara yang efisien di semua hal. Begitu keluar dari garbarata dan belok ke kiri, penumpang langsung dihadapkan pada televisi plasma di dinding, yang memaparkan seluruh jadwal keberangkatan pesawat. Informasi vital yang dibutuhkan penumpang yang harus segera menentukan terminal yang akan dituju untuk mengejar pesawat lanjutan (connecting flight) .
Pertama kali melihat layar televisi plasma itu, data pesawat dengan nomor penerbangan LX 2804 jam 09.45 dengan tujuan Geneva belum muncul. Sambil menunggu keluarnya data itu, saya mengobrol dengan rekan yang juga akan meliput Euro 2008 dan satu pesawat dari Singapura. Hal yang jamak terjadi di Tanah Air itu ternyata tidak lazim. Kami ditegur petugas karena lupa tidak bergerak di dekat eskalator turun ke lantai bawah.
Beberapa saat kemudian, informasi jadwal pesawat LX 2804 tujuan Geneva pukul 09.45 muncul juga di layar televisi. Setelah turun lewat eskalator yang curam itu, semua penumpang dari penerbangan internasional harus naik monorel untuk transfer ke terminal lain. Monorel itu dibuat simpel, seperti di Bandara Changi Singapura. Tidak ada tempat duduk dan hanya tersedia tempat berpegangan.
Pagi itu, selain dipenuhi para penumpang yang baru turun dari "Singapore Airlines", monorel juga diisi beberapa pramugari dan kru pesawat. Perjalanan monorel dari terminal kedatangan ke terminal keberangkatan hanya memakan sekitar dua atau tiga menit.
Pintu terminal itu terlihat baru dibuka. Seorang pria paruh baya ditanya petugas soal botol berisi cairan yang dibawanya. Ia lolos setelah menjelaskan bahwa itu obat. Seperti di tempat-tempat lain bandara itu, ruang tunggu di terminal itu masih sepi. Baru satu atau dua penumpang yang duduk di ruang tunggu itu. Komputer di meja petugas masih terbungkus plastik. Petugasnya pun belum datang.
Dari kursi yang tidak terlalu banyak, terlihat ini terminal untuk penerbangan domestik di Swiss. Ruangan luas di tempat itu ternyata juga dipakai untuk pintu terminal lainnya. Di beberapa tempat terdapat rak-rak majalah gratis. Seolah lagi demam Euro 2008, rak-rak tersebut penuh berisi majalah-majalah seputar Euro 2008. Zurich adalah salah satu dari empat kota di Swiss yang menjadi tempat penyelenggara Euro 2008, selain Bern, Geneva, dan Basel.
Majalah-majalah Euro itu kebanyakan berbahasa Jerman atau Perancis, tetapi ada yang berbahasa Inggris. Di sebuah rak, ada tulisan "Help Your Self". Tulisan itu mungkin cara mereka menjelaskan kultur Swiss (dan sepertinya juga Eropa: sebaiknya orang bisa mengurus diri sendiri tanpa butuh bantuan orang lain).
Di terminal itu, --maaf harus bercerita yang satu ini-- toiletnya berbeda dengan toilet yang ada di Tanah Air. Di ruang WC, tidak ada tombol atau alat untuk menggelontorkan air. Setelah mencoba pencet sana-sini dan gagal, terlihat benda terbuat dari karet di dinding bawah sebelah kiri kloset. Setelah diinjak dengan kaki, benda karet itu ternyata... byuuur.. menggelontorkan air di WC. Belakangan baru saya tahu, rupanya WC-WC model seperti itu banyak dipakai di Swiss dan juga Austria.
Di luar, hujan gerimis masih mengguyur kawasan Bandara Zurich. Menjelang jadwal keberangkatan pesawat nomor LX 2804 (jam 09.45), terdengar pengumuman agar penumpang segera masuk ke perut pesawat Swiss Air. Seperti telah disebutkan, Swiss dikenal dengan negara efisien. Dalam penerbangan singkat itu, awak pesawat juga tidak menyuguhkan makanan, Hanya segelas air mineral dan sebutir coklat berbentuk bola sebesar kelereng besar. Efisien atau ngirit? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H