Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seleksi Mandiri PTN (BH) Secara Implisit Melarang Orang Miskin untuk Kuliah

1 Juli 2023   13:13 Diperbarui: 1 Juli 2023   13:41 10716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini bersisikan keresahan saya terhadap makin mahalnya biaya pendidikan di negeri ini, terkhusus biaya di perguruan tinggi negeri berbadan Hukum (PTN-BH). Biaya perguruan tinggi yang mahal berimplikasi pada terbatasnya akses masuk bagi masyarakat menengah ke bawah. Pendidikan menjadi komoditas ekslusif yang hanya diperoleh oleh sekalangan masyarakat tertentu. Sifat inkslusif pendidikan dihalangi oleh tembok rupiah yang bertumpuk-tumpuk. Akibatnya peluang perbaikan nasib dan taraf hidup bagi masyarakat miskin dibatasi, dan melahirkan suatu lingkaran setan kemiskinan. Anak yang lahir dari keluarga miskin, selamanya akan tetap miskin. 

Idealnya, negara membantu untuk melindungi dan memenuhi hak warga negara. Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh negara terhadap warga negaranya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagaimana juga tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar bagi setiap orang dan. Bahkan, ada turunan dari deklarasi HAM tersebut yang secara spesifik memuat keterbukaan pendidikan bagi semua orang, namanya Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan. Pendidikan menjadi hak asasi manusia yang mendasar karena pendidikan sangat diperlukan untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya. 

Sebab, hak untuk bekerja tidak dapat dipenuhi bila ia tidak terdidik. Jika haknya untuk bekerja tidak terpenuhi, ia tidak memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atas sandang, pangan dan papan. Jika kebutuhan primer tersebut tidak terpenuhi, maka haknya untuk hidup ikut hilang. Artinya dia mati kelaparan karena tak punya makanan, pakaian dan rumah. Hemat saya, seperti itulah alasan mengapa pendidikan menjadi sebuah hak yang paling mendasar bagi manusia. Maka jelaslah Agar hak asasi manusia bagi masyarakat Indonesia terpenuhi, pertama-tama harus ada persamaan kesempatan dan akses universal terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. 

Idealnya memang seperti itu, tapi bagaimana progresnya saat ini? Dengan sedih, sesedih rasanya saat Jiraya mati dibunuh Akatsuki, kewajiban atas terpenuhinya hak atas pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat jauh dari kondisi ideal. Biar saya uraikan secara pelan-pelan.

Data dari Kemendikbud menunjukan bahwa di tahun 2021, dari 3,6 juta siswa yang lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hanya sebesar 1,3 juta. Ada gap sebesar 2,3 juta. Secara persentase hanya 36% yang ke perguruan tinggi. Angka 2,3 juta mungkin terlihat kecil, tapi itu merupakan angka tahunan. Jika diakumulasikan, sejak negara ini berdiri sampai 2023, sudah berapa banyak siswa SMA yang tidak lanjut studi ke bangku kuliah?

Sayangnya saya tidak dapat data soal itu. Tapi dengan asumsi setahun hanya ada 36% berkuliah, maka sudah pasti angka siswa yang tidak mampu lanjut kuliah sudah dikisaran puluhan juta siswa. 

Angka statistik tersebut mungkin tidak berarti apa-apa jika tidak saya telaah dan inteprestasikan penyebabnya. Sebab, ada konsesus di masyarakat bahwa kuliah atau bersekolah tinggi-tinggi bukan satu-satunya pilihan untuk meraih kemapanan ekonomi. Dan saya sepakat dengan itu. Tapi, ternyata hanya sebagian kecil yang tidak lanjut kuliah karena dasar kerelaan atau memang tidak ingin kuliah karena memilih bekerja melalui kerelaan dalam dirinya sendiri. 

Sayngnya, mereka terpaksa bekarja sedari lepas SMA karena faktor ekonomi. Mereka tidak punya pilihan selain bekerja, sebab orang tuanya tidak punya cukup uang membiayai kuliah anaknya. Hal ini diperkuat dari data Haruka Evolusi Digital Utama di tahun 2018 menunjukan bahwa 66% siswa SMA tidak lanjut kuliah karena kendala biaya. Sederhanya, dari setiap 3 anak SMA hanya 1 orang yang mampu berkuliah. Dua anak tadi akhirnya menjadi pengangguran atau bekerja di pabrik. 

Seandainya pun mereka mendapat pekerjaan, umumnya besaran upah yang diperoleh tidak sebesar teman mereka yang lulusan kuliah. Data dari BPS yang dimuat Kompas pada (25/02/2020), secara rata-rata besaran gaji yang diperoleh lulusan universitas sebesar 4,59 juta, sedangkan lulusan SMA hanya sebesar 2,73 juta perbulan. Perbedaan yang cukup timpang. Tidak heran jika indeks gini di negeri ini kian melebar. Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin hanya karena tidak punya akses ke perguruan tinggi. Dan negara bertanggung jawab untuk masalah itu.

Menapa Negara Bertanggung Jawab?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun