Adalah Raden Ajeng Kartini, tokoh yang dikenang akan gagasanya tentang perjuangan kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Sebagai seorang feminist, banyak gagasan yang ia tuangkan relevan hingga hari ini.Â
Dalam bukunya yang berjudul Habis Gelap Tertbitlah Terang, perjuangan Kartini dapat dirangkum dalam kalimat " Jika seorang wanita berpendidikan, dia akan lebih mampu mendidik anak-anaknya dan lebih mampu mengurus rumah tangganya, dan akan semakin maju bangsanya".Â
Persepsinya mengenai peran pendidikan sebagai alat pengubah posisi perempuan dalam masyarakat kiranya sedikit melampau zaman. Sebab di masa itu, saya kesulitan menemukan sumber literasi berisi gagasan pendidikan bagi kaum wanita Indonesia selain dari tulisan Kartini. Barangkali karena ini juga orang-orang bijak bernasihat agar kita menulis, karena gagasan kita akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari dan takkan padam ditelan angin.
Pembaca sekalian yang sedang merayakan hari Kartini, dalam tulisan singkat ini, saya hendak membahas satu surat menyentuh dari R.A Kartini dan relevansinya dengan masalah perempuan di Indonesia saat ini. Sekiranya tafsir dari kalimat itu akan sangat bias dari sudut pandang saya. Jikalau saudara-saudari tidak sepaham dengan interpresatsi saya, maka anggap saja tulisan ini adalah cara saya merayakan hari Kartini.
Dalam buku Sulastin Trisno, Surat-surat Kartini : Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, R.A. Kartin menulis "Orang mencoba membohongi kami, bahwa tidak kawin itu, tidak hanya menjadi aib, melainkan dosa besar pula. Telah berulang kali itu dikatakan kepada kami. Aduhai! Dengan menghina sekali orang sering kali, membicarakan perempuan yang membujang!"[1]
Bagi saya, untaian kalimat itu tidaklah mungkin lahir jika kondisi sosial masyarakat tidak berperilaku demikian. Surat bernada kesal itu disebabkan pengalam pribadi Kartini yang dipaksa menikah di usia belia.Â
Surat itu adalah kisah perlawanan Kartini sebagai perempuan terhadap 'tirani tradisi' yang memandang rendah perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, yang diwariskan dalam sastra.Â
Melalui suratnya itu, Kartini menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi perempuan yang tertinggal dalam aspek budaya perkawinan yang cenderung merugikan.
Banyak penelitian ilmuwan sosial dan alam telah membuktikan bahwa pernikahan di usia muda merugikan perempuan. Pendidikan menjadi tidak bermfaat bagi perempuan bagi yang telah menikah.Â
Perempuan diberi beban penuh untuk mengurus rumah tangga dan merawat anak. Maka konsekuensi yang wajar jika angka putus sekolah akan tinggi pada perempuan yang sudah menikah. Pernikahan dini adalah gangguan bagi masa depan gadis-gadis muda, secara pendidikan, sosial dan ekonomi.Â
Perempuan yang menikah di usia remaja, dia tidak akan menemukan waktu untuk bersosialisasi dengan orang lain atau pergi ke sekolah. Gadis yang menikah di usia dini akan menderita kemiskinan dan kebodohan.Â
Pernikahan dini menyebabkan kematian ibu karena ketika seorang gadis muda hamil sebelum mencapai kedewasaan, ini menyebabkan kematian ibu terutama ketika dia tidak melahirkan di rumah sakit.Â
Dia mungkin melahirkan anak-anak dengan berat badan kurang karena dia tidak tahu apa yang harus dimakan selama kehamilan dan ini dapat menyebabkan penyakit pada anak dan akhirnya kematian anak. Â
Mungkin karena dampak-dampak negatif itu Kartini berjuang melawan stigma perempuan harus menikah muda. Jadi selain melawan tirani budaya, Kartini sebenarnya memperjuangkan para perempuan agar sekolahnya tidak putus, keluarga mereka bahagia, anak-anak mereka tumbuh sehat dan agar bangsanya lebih maju.Â
Perjuangan Kartini melawan diskriminasi mendorong perempuan untuk berani melawan stereotip perempuan ujungnya jadi ibu rumah tangga saja.Â
Semua perempuan tidak perlu ragu, karena sejatinya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengejar mimpi dan cita-citanya mengenyam pendidikan tinggi.
Satu abad lebih pasca gagasan Kartini yang berbicara persoalan emansipasi, yang terjadi hari ini masih jauh dari yang ia harapkan. Wanita yang menikah muda nyatanya masih tinggi.Â
Data Badan Pusat Statistik menunjukan masih ada 34,67 juta perempuan yang menikah di usia dini.[1] Negara padahal sudah mengatur bahwa batasan usia menikah adalah 19 tahun. Alasan ekonomi yang adalah variabel paling banyak berpengaruh, karena miskin, dengan menikahkan anaknya, maka beban hidupnya akan ditanggung suami. Padahal dia belum siap secara fisik dan psikis. Ketidakmampuan mengontrol emosi dalam berumah tangga membuat perempuan muda rentan menjadi korban KDRT. Orang tua menumbalkan anak perempuanya untuk keluar dari kutukan beban ekonomi, kemiskinan. Angka menikah mudah juga masih berkorelasi dengan angka putus sekolah, 94 persen anak yang menikah dini tidak lagi meneruskan sekolahnya[2]. Angka yang sangat tinggi.Â
Sampai hari ini pun, jika di situasi pilihan membawa anak perempuan atau laki-laki ke perguruan tinggi, kemungkinan besar anak laki-laki yang dipilih oleh keluarganya. Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena kodratnya hanya di dapur, kasur dan sumur. Anak perempuan akan menjadi seorang istri, ia akan ikut pihak laki-laki, suaminya.Â
Jadi, sekali pun dia bersekolah, dia bukan investasi yang baik, karena biaya pendidikannya yang mahal tidak mampu membantu hari tua orang tuanya.Â
Perempuan adalah properti suaminya, semua yang ia miliki adalah kepunyaan suaminya juga. Pantang bagi perempuan untuk memberi suatu apa pun tanpa seizin pemilik raganya. Sungguh, pemikiran sempit itu masih ada dan terus berkembang di masyarakat Indonesia.
Dalam berbagai muatan filsafat tentang perilaku manusia, manusia berbuat dan bertindak dengan nilai yang mereka anut. Tata nilai yang dianut tidak lain bersumber dari pengetahuan mereka. Nilai yang salah berasal dari pengetahuan yang tidak benar dan ketidaktahuan.Â
Lembaga pendidikan adalah institusi yang berkewajiban membenarkan yang sebelumnya salah dan memberi tahu yang sebelumnya tidak diketahui.Â
Dikontekskan dengan kegagalan masyarakat yang belum lepas dari jerat patriaki, lembaga pendidikan berperan membumikan nilai-nilai emansipasi wanita yang menjadi gagasan Kartini.
Benar, gagasanya yang perlu disebarkan oleh lembaga pendidikan. Sayangnya, hari ini saya tidak melihat itu di lembaga pendidikan. Di hari Kartini, anak-anak sekolah hanya diwajibkan memakai kebaya dan diadakan beragam lomba.
Sebagai simbol emansipasi anak laki-laki juga turut memasak dalam perayaan hari Kartini. Bagi saya, kemeriahan memakai kebaya tidak cukup dan kurang relevan.Â
Kegiatan simbolik ini bagi saya adalah awan pekat yang menutup esensi dari perjuangan Kartini mengenai kesetaraan hak bagi perempuan. Pesan untuk meniru Kartini seahrusnya tidak hanya dengan memakai kebaya. Yang perlu ditiru seharusnya semangat dalam perjuanganya.Â
Meniru Kartini yang menyebarluaskan gagasanya lewat tulisan. Tulisan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk dididik. Itu hal yang paling penting. Otonomi tubuh perempuan diwujudkan dengan keluarnya perempuan dari kurungan, keluar dari tradisi, untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik. Ini bukan hanya soal emansipasi, tapi bagaimana perempuan bisa melakukan perubahan. Membaca surat Karini lebih penting daripada peragaan busana kebaya.
Besar sekali keinginan saya agar perayaan Hari Kartini dimaknai tidak hanya sebatas simbol visual dan penampilan fisik saja, tetapi juga memaknai perjuangan yang sifatnya filosofis. Apabila langkah ini kita ambil, saya optimis, tentakel gurita patriaki yang masih melekat dalam masyarakat bisa direduksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI