Coup d'etat
4 Juli 2021
Secara teori, kudeta hanya mungkin dilakukan jika keadaan mendukung, yakni kegagalan negara dan terhambatnya kebebasan. Setidaknya itulah yang dikatakan Jack Goldstone dalam sebuah risalahnya. Tetapi kemarin, 3 Juli 2021, tepat 75 tahun lalu, sekelompok orang melakukan kudeta pertama dalam sejarah politik nasional Indonesia.
Tidak ada kegagalan negara. Hanya saja, sang perdana menteri dianggap gagal menjalankan politik bebas aktif, yakni melakukan diplomasi kebablasan yang berujung pada menyempitnya wilayah Republik muda. Kudeta itu dilakukan pihak-pihak yang menamakan dirinya kaum sosialis Indonesia. Siapakah mereka?
Sebenarnya mereka adalah kelompok-kelompok yang tidak puas dengan jalannya revolusi Indonesia, bahkan tidak mendapatkan kekuasaan pada tahun pertama berdirinya Republik, yang juga mengingatkan kita pada duo ilmuwan sosial Prancis, Gouda - Â Zaalberg.Â
Kata Gouda, trisula memang tajam...tetapi hanya Soekarno yang punya massa. Sementara menurut Wellem Djara, Amir Sjarifuddin tidak bisa dianggap remeh karena selain pemikirannya tajam, juga mempunyai massa yang loyal. Begitupun dengan Tan Malaka, bapak republik yang terlupakan. Sementara General Soedirman, semua orang sudah tahu... Â
Menurut Mc Kahin, kedua orang yang disebut terakhir inilah yang secara faktual mendukung penculikan Sjahrir, tetapi Amir Sjarifuddin lah yang kemudian mengambil keuntungan dari kudeta 3 Juli tersebut. Dan Soekarno, seperti biasa hingga 30 September 1965, mengambil langkah politik strategis dengan membiarkan penculik mengembalikan Sjahrir ke tempatnya. Â Â
Sejak saat itu, culik-menculik menjadi terlalu biasa dalam pergulatan politik Republik. Tetapi saya mendengar, di Prapat, Sjahrir membentak Soekarno yang 8 tahun lebih tua darinya. Sejak itu Soekarno menjadi musuh politik Sjahrir dan tidak mau lagi menjadi sahabat. Sosialisme Sjahrir juga redup, apalagi sepeninggal Hatta, lelaki kelahiran Bukit Tinggi yang mengundurkan diri tahun 1956.
==========
Dalam disertasinya yang diterbitkan, Soe Hok Djin alias Arief Budiman mengatakan hanya coup d' etat yang bisa mengakhiri percobaan Sosialisme. Dan itulah yang dilakukan militer terhadap Allende yang mendapat simpati rakyat melalui Unidad Popular. Jika dibiarkan terus, besar kemungkinan Sosialisme akan berhasil sebab semua unsur telah terpenuhi dan tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak menyukai kinerja Unidad Popular. Tetapi itu tahun 1973, ketika ideologi-ideologi besar masih saling bersaing.  Â
Di Chile, Sosialisme di bawah Allende memang populer. Tetapi tidak dengan di Indonesia. Seperti dicatat Miriam Boediardjo, dalam pemilu 1955 Partai Sosialis Indonesia di bawah Sjahrir hanya mendapat 2% suara, dan itu hanya cukup mengantarkan 5 orang ke parlemen konstituante. Dan meskipun tidak cukup bukti bahwa PSI Sjahrir mendukung PRRI/ Permesta, namun Soekarno tafsiran Soekarno sudah cukup mengantarkan Sjahrir ke penjara.