Mohon tunggu...
Ganda Samson
Ganda Samson Mohon Tunggu... Ilmuwan - Hidup Matinya Seorang Penulis

Lahir di Pematang Siantar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Coup d'etat

4 Juli 2021   11:56 Diperbarui: 4 Juli 2021   12:01 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Coup d'etat

4 Juli 2021

Secara teori, kudeta hanya mungkin dilakukan jika keadaan mendukung, yakni kegagalan negara dan terhambatnya kebebasan. Setidaknya itulah yang dikatakan Jack Goldstone dalam sebuah risalahnya. Tetapi kemarin, 3 Juli 2021, tepat 75 tahun lalu, sekelompok orang melakukan kudeta pertama dalam sejarah politik nasional Indonesia.

Tidak ada kegagalan negara. Hanya saja, sang perdana menteri dianggap gagal menjalankan politik bebas aktif, yakni melakukan diplomasi kebablasan yang berujung pada menyempitnya wilayah Republik muda. Kudeta itu dilakukan pihak-pihak yang menamakan dirinya kaum sosialis Indonesia. Siapakah mereka?

Sebenarnya mereka adalah kelompok-kelompok yang tidak puas dengan jalannya revolusi Indonesia, bahkan tidak mendapatkan kekuasaan pada tahun pertama berdirinya Republik, yang juga mengingatkan kita pada duo ilmuwan sosial Prancis, Gouda -  Zaalberg. 

Kata Gouda, trisula memang tajam...tetapi hanya Soekarno yang punya massa. Sementara menurut Wellem Djara, Amir Sjarifuddin tidak bisa dianggap remeh karena selain pemikirannya tajam, juga mempunyai massa yang loyal. Begitupun dengan Tan Malaka, bapak republik yang terlupakan. Sementara General Soedirman, semua orang sudah tahu...  

Menurut Mc Kahin, kedua orang yang disebut terakhir inilah yang secara faktual mendukung penculikan Sjahrir, tetapi Amir Sjarifuddin lah yang kemudian mengambil keuntungan dari kudeta 3 Juli tersebut. Dan Soekarno, seperti biasa hingga 30 September 1965, mengambil langkah politik strategis dengan membiarkan penculik mengembalikan Sjahrir ke tempatnya.   

Sejak saat itu, culik-menculik menjadi terlalu biasa dalam pergulatan politik Republik. Tetapi saya mendengar, di Prapat, Sjahrir membentak Soekarno yang 8 tahun lebih tua darinya. Sejak itu Soekarno menjadi musuh politik Sjahrir dan tidak mau lagi menjadi sahabat. Sosialisme Sjahrir juga redup, apalagi sepeninggal Hatta, lelaki kelahiran Bukit Tinggi yang mengundurkan diri tahun 1956.

==========

Dalam disertasinya yang diterbitkan, Soe Hok Djin alias Arief Budiman mengatakan hanya coup d' etat yang bisa mengakhiri percobaan Sosialisme. Dan itulah yang dilakukan militer terhadap Allende yang mendapat simpati rakyat melalui Unidad Popular. Jika dibiarkan terus, besar kemungkinan Sosialisme akan berhasil sebab semua unsur telah terpenuhi dan tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak menyukai kinerja Unidad Popular. Tetapi itu tahun 1973, ketika ideologi-ideologi besar masih saling bersaing.   

Di Chile, Sosialisme di bawah Allende memang populer. Tetapi tidak dengan di Indonesia. Seperti dicatat Miriam Boediardjo, dalam pemilu 1955 Partai Sosialis Indonesia di bawah Sjahrir hanya mendapat 2% suara, dan itu hanya cukup mengantarkan 5 orang ke parlemen konstituante. Dan meskipun tidak cukup bukti bahwa PSI Sjahrir mendukung PRRI/ Permesta, namun Soekarno tafsiran Soekarno sudah cukup mengantarkan Sjahrir ke penjara.

Dalam "Renungan Indonesia", tahun 1930an Sjaharir sudah menduga bahwa kebanyakan orang Indonesia tidak suka dengan Sosialisme, karena dianggap kebarat-baratan dan 'jauh' dari emosi-emosi sosial rakyat. "Sosialisme itu terlalu Rasional", kata Soe Hok Gie, yang juga diaminkan Orde Baru. Terbukti, meskipun orang-orang PSI berkaliber internasional, tetapi rezim Orde Baru tetap tidak mau memakai mereka.

Saya tidak akan menyebut siapa saja orang-orang Sosialis masa dulu dan sekarang. "Tetapi lihatlah sikap terhadap orang-orang PSI sekarang", kata teman saya.

==========

Ideologi-ideologi besar tidak laku dalam masa teknologis sekarang ini... tetapi itu hanya soal penyebutan saja, kata salah satu pengurus pusat PSI sekarang. Orang-orang muda saat ini bahkan tidak tahu perbedaan antara Komunisme dan Sosialisme karena mereka ogah belajar ideologi-idelogi besar, imbuhnya. Tetapi jangan bilang kalau tindakan politik saat ini sebenarnya mengarah pada Itu, yakni Sosialisme.

Saya pun jadi ingat Obama Care. Sebuah kepedulian politik berbau Sosialisme. Tetapi apakah pelayanan publik terhadap orang banyak itu disebut Sosialisme Amerika. Selamat Independence Day!

Salam dan Hormat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun