Kata 'Mitos' dalam penulisan Sejarah Nusantara mungkin pertama kali disebut Th. van Leur ketika menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan pinggiran sebenarnya lebih berperan mendobrak kemaharajaan Hindu-Buddha. Kekuatan-kekuatan marjinal itu dapat diidentifikasi sebagai kegiatan ekonomi makro-mikro yang tidak terstruktur.
 Â
Tetapi disertasi van Leur (1941) itu "tak akan dianggap" jika saja WF Wertheim tidak menyinggungnya dalam salah satu karya sosiologi klasik mengenai Indonesia. Dan akhirnya, GJ Resink menegaskan pula bahwa penjajahan 350 tahun adalah mitos; sekaligus menyanggah ucapan Gubernur
Jenderal De Jonge, "Kami telah 300 tahun di sini, dan masih akan 300 tahun lagi tetap di sini".
Andia, TB Simatupang menjelaskan bahwa kelanjutan rasionalisasi militer nasional Indonesia awal 1950an adalah upaya membuktikan ketidakbenaran mitos. Selama kepemimpinan Jenderal Sudirman sendiri mitos itu telah dipatahkan kendati ~ menurut disertasi Salim Said ~ terpilihnya Sudirman justru menguatkan mitos tertentu dalam sistem sosial Indonesia.
Jadi, apakah sebenarnya mitos untuk Indonesia?
==========
Mereka yang lahir dekade 1970an pasti pernah percaya bahwa Amerika Serikat memang ditakdirkan sebagai polisi dunia. Dengan semua kegemilangnnya, Amerika adalah indikator modern yang bukan mitos.
Tetapi 'kami' mungkin lupa, Presiden Kennedy pernah berusaha mencegah mitos itu. Dia yang kemudian ragu-ragu menyerang Fidel Castro dan sangat bersahabat dengan Soekarno. Sang revolusioner flamboyan memang separuh marxis, seperti halnya Castro dan Ghuevara. Tetapi bagi Kennedy, Soekarno pertama-tama adalah seorang nasionalis dan bukan marxis. Soekarno memecah mitos bahwa Ras Austronesia tidak dapat hidup berdampingan dengan Ras Melanesia. Maka Kennedy bersedia mendukung sahabat untuk Irian Barat.
Hulu ledak nuklir Kruschev telah mengarah ke Florida, dan jangkauan terjauh tentu saja menuju Washington. Namun peristiwa teluk Babi dapat dicegah meskipun Kennedy harus menjadi korban humanisme politiknya sendiri. Â Â Â
==========
Jauh sebelum Corvet dikenal, model kapal selam yang akan menyerang Teluk Babi itu konon sering warawiri di laut Selatan Jawa. Maka, hingga bermahasiswa tahun 1990an saya masih mendengar beberapa agen intelijen asing di Asia berupaya mencari kepastian kedalaman Selat Bali. Padahal waktu itu belum ada Departemen KKP dan Soeharto bukan presiden daripada berorientasi maritim.
Tak usah heran jika sebuah restoran di kawasan Menteng itu, menjadi tempat favorit agen-agen intel asing untuk mengorek informasi rahasia. Tak terlalu jauh dari Merdeka Timur & Barat, dari restoran itu juga teramat mudah melarikan diri ke Manggarai Jakarta Selatan, wilayah kuldesak yang sangat padat.
Rupanya, tertangkapnya seorang perwira dengan jeep landrovernya yang tangguh tak menyiutkan nyali para agen asing. Justru sebaliknya, mereka makin penasaran dengan kondisi riil perairan Indonesia. Hanya bagi yang mengerti maksudnya, kode-kode seperti kedipan lampu dim di parkiran Senayan dan kertas kuning di saku amat sering terlihat masa itu.
==========
Maka terjawab pulalah mengapa para jenderal Orde Baru 1990an tidak menyukai alm. Prof. Habibie, bahkan setelah menjadi presiden. Itu tentu bukan soal-soal masalah pribadi ataupun agama. Apalagi jika dikaitkan dengan lepasnya Timor Leste. Sama sekali bukan itu.
Bagi Cilangkap hingga 1990an, urusan teknologi memang prerogatif tentara. Alasannya tidak lain: Perang Dingin. Kalau Habibie bikin pesawat, maka tak bisa lain, itu adalah sekaligus instrumen intelijen. Bahkan lambung pesawat yang sedang mengudara harus dapat menangkap luasnya kedalam laut di bawahnya. Tujuan ini berbeda dengan visi Habibie.
Nanggala-402 yang diproduksi tahun 1979 adalah buatan industri kapal pimpinan Habibie. Semacam kompromi teknologis sipil-militer Indonesia ketika itu. Kapal selam jenis baru yang sangat cekatan dan dapat memuat 45-60 orang prajurit, kurang dari satu batalyon darat ataupun satu skuadron tempur udara. Energik dan tangguh, dengan kedalaman maksimal 300 meter.
Maka ketika April 2021 ini Nanggala-402 tenggelam pada kedalaman 700 meter, terbitlah sebuah tanda tanya serius. Setelah 40 tahun lebih, apakah kerjasama teknologis sipil -- militer Indonesia masih dianggap mitos? Bukannya masa lalu, justru masa depan Indonesia lah yang agaknya masih diselimuti mitos.
RIP Nanggala - 402
TerimaKasih.
Hormat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H