Putusan N.O dan Kewenangan MengadiliÂ
Warming up menunggu putusan MK tentang Sengketa PilPres
Oleh: Sampe Purba
Petis, sed ignoratur quia falsum est quod petisti; you sue, but it is ignored because what you asked is erroneous
Prolog
Ada tiga jenis putusan yang dapat diberikan oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara gugatan ataupun permohonan di Peradilan Perdata, Peradilan TUN atau Mahkamah Konstitusi. Yang pertama adalah gugatan diterima, entah sebagian atau seluruhnya. Putusan ini diberikan berdasarkan pertimbangan hakim, apabila Penggugat atau Pemohon dapat membuktikan dalil-dalilnya di pengadilan secara sah dan meyakinkan, serta tidak terbantahkan oleh pihak tergugat.
Jenis putusan yang kedua adalah gugatan ditolak. Putusan ini diberikan apabila dalam persidangan, penggugat atau pemohon tidak berhasil atau gagal membuktikan dalil gugatannya. Hal ini juga sejalan dengan asas siapa yang mendalilkan, maka dialah yang harus membuktikan.
Jenis putusan yang ketiga adalah gugatan tidak dapat diterima/N.O [niet ontvankelijke verklaard] atau declared inadmissible. Putusan jenis ini diberikan oleh Hakim, apabila terdapat cacat formil. Cacat formil itu antara lain adalah gugatan tidak memiliki dasar hukum, gugatan salah subjek/ error -- in -- persona, obscuur libel/ gugatan tidak terang, jelas atau tegas, tidak sesuainya fakta hukum yang diuraikan (posita) dengan tuntutan yang diminta untuk dikabulkan oleh majelis hakim (petitum), lewat waktu/ kedaluwarsa serta tidak sesuai dengan kewenangan kompetensi (yurisdiksi) lembaga peradilan yang memeriksa dan mengadili perkara dimaksud.
Kewenangan Mengadili dari Lembaga Peradilan
Kewenangan/ Kompetensi Yurisdiksi suatu lembaga peradilan untuk mengadili -- sesuai dengan sumber perundang-undangan yang mendasari -- pada dasarnya ada dua. Yang pertama adalah kewenangan/ Kompetensi absolut, yang kedua adalah kewenangan kompetensi relatif.
Kompetensi kewenangan absolut adalah wewenang berdasarkan yurisdiksi mengadili. Misalnya Lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer memiliki yurisdiksi masing-masing. Sebagai contoh, misalkan seseorang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan dan sebagainya mengajukan perkaranya ke peradilan pidana umum, dan menuntut cerai. Peradilan pidana akan menolak atau N.O terhadap tuntutan tersebut, sebab apabila pengadu misalnya adalah beragama Islam, tuntutan perceraian adalah merupakan kompetensi yurisdiksi peradilan agama.
Sedangkan kewenangan relatif adalah kewenangan pada suatu yurisdiksi yang dibatasi oleh wilayah perkaranya. Misalnya apabila ada suatu peristiwa pidana yang terjadi dan melibatkan orang-orang di satu kabupaten tertentu (locus delicti), maka lembaga peradilan yang menanganinya pada tingkat pertama adalah pengadilan negeri di kabupaten yang bersangkutan.
Lembaga Peradilan di Indonesia -- berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 ada dua, yaitu Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted power) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation) yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 45 dan dipertegas dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan MK ada empat yaitu pertama menguji undang-undang terhadap UUD 1945, kedua memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, ketiga memutus pembubaran partai politik dan keempat memutus perselisihan tentang hasil pemilu. [tulisan tebal dan garis bawah oleh Penulis].
Adapun kewajiban konstitusional (constitutional obligation) dari MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Ada dua sifat kekuatan yang melekat dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Yang pertama adalah putusan MK bersifat final. Peradilan MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir. Tidak ada forum pengadilan lain yang dapat menguji putusan MK. Kompetensi relatif, sebagaimana di lembaga peradilan lain yang dapat dimintakan putusan banding atau kasasi, tidak berlaku dan tidak dikenal di MK.
Sifat kedua adalah binding atau mengikat. Sifat mengikat tersebut berlaku baik terhadap pihak yang berperkara maupun pihak di luar yang berperkara. Disebut juga putusan itu bersifat erga omnes dan inkracht van gewisje.
Seputar Proses Pemilu dan Kewenangan Memutus Perselisihan
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, termasuk Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam berbagai Undang-undang. Salah satu di antaranya adalah Undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Terdapat beberapa pihak yang terkait erat dengan Pemilu. Beberapa di antaranya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Partai Peserta Pemilihan Umum, Calon Peserta Pemilu yaitu peserta perorangan di Pemilu Legislatif, Dewan Perwakilan Daerah atau Pasangan peserta di Pemilihan Presiden atau Kepala Daerah, Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Mahkamah Konstitusi.
Beberapa tugas dan kewenangan KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang memenuhi persyaratan, menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya, serta mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dan membuat berita acaranya.
Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU mendasarinya kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur. Penetapan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 misalnya. KPU melalui Peraturan KPU nomor 23 tahun 2023 menetapkan tentang pencalonan peserta pemilihan presiden dan wakil presiden. Peraturan tersebut merujuk kepada Putusan MK Nomor 90/ PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut adalah terkait dengan Pengujian UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-undang dasar 1945. Pada intinya sebagaimana dikutip dan dinyatakan dalam Peraturan KPU nomor 23 tahun 2023 pasal 13 ayat 1 q, salah satu persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/ sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah. Selanjutnya dengan Keputusan KPU nomor 1632 tahun 2023 ditetapkan ada tiga pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Epilog
Bagaimana apabila ada pihak-pihak yang mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi atas posita bahwa salah satu pasangan calon peserta pemilu Calon Presiden Calon Wakil Presiden tidak sah, dengan merujuk kepada putusan MK Nomor 90/ PUU-XXI/2023, dan mengajukan permohonan/ tuntutan/ petitum agar diselenggarakan Pemilu Ulang dengan tidak mengikutkan paslon atau salah satu paslon yang dianggap diuntungkan dengan adanya putusan MK a quo atau nomor 90 di atas.
Kalau secara sederhana, dapat saja dijawab dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan di atas, bahwa Mahkamah Konstitusi/ MK akan memberikan putusan N.O dengan alasan:
- Kewenangan MK adalah untuk memeriksa hasil Pemilu, dan bukan proses Pemilu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Keputusan KPU Nomor 1632 tahun 2023 adalah rangkaian dari sebuah Proses dan bukan hasil. Termasuk dalam proses tersebut adalah Putusan MK nomor 90/ PUU-XXI/2023
- Putusan MK adalah bersifat final and binding. Sifat final and binding (erga omnes dan inkracht van gewisje) tersebut berlaku untuk semua pihak termasuk untuk MK sendiri. Dengan kata lain, MK tidak dapat melanggar putusan MK,
Tetapi apakah sesimpel itu?
Tentu saja tidak. Hukum tidak saja hanya merupakan rentetan atau rangkai untai peraturan perundang-undangan. Cara pandang demikian adalah cara orang kebanyakan (kaum awam/ layman on the street). Para pendekar hukum terbaik dan ternama di Indonesia turun gelanggang dalam pertarungan di MK. Tentu saja tidak ada yang mau dipermalukan dengan kemungkinan putusan N.O. Segala keahlian, argumentasi dan kontra argumentasi maupun peristiwa dan atau hal-hal lain di luar persidangan akan menjadi amunisi dan kontra amunisi yang turut berkelindan. Ini akan menjadi show dan tontonan yang mengasyikkan. Kita perlu menunggu -- dengan adab kesantunan yang santuy hingga MK mengayunkan palu putusannya.
Selain itu, jangan lupa dalam hukum ada juga adagium exceptio quoque regulam declarant yang artinya sebuah pengecualian adalah juga merupakan aturan hukum.
Nah ..... bingung?. Namanya juga hukum. Ya harus begitu... Full of complication [untungnya, tetap asyik].
Jakarta, 26 Maret 2024
Penulis:
Sarjana Hukum, tinggal di Jakarta
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
M.Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan".
Web Mahkamah Konstitusi
Zainal Arifin Mochtar, Eddy O.S Hiariej, Dasar-dasar Ilmu Hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H