Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU mendasarinya kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur. Penetapan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024 misalnya. KPU melalui Peraturan KPU nomor 23 tahun 2023 menetapkan tentang pencalonan peserta pemilihan presiden dan wakil presiden. Peraturan tersebut merujuk kepada Putusan MK Nomor 90/ PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut adalah terkait dengan Pengujian UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-undang dasar 1945. Pada intinya sebagaimana dikutip dan dinyatakan dalam Peraturan KPU nomor 23 tahun 2023 pasal 13 ayat 1 q, salah satu persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/ sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah. Selanjutnya dengan Keputusan KPU nomor 1632 tahun 2023 ditetapkan ada tiga pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Epilog
Bagaimana apabila ada pihak-pihak yang mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi atas posita bahwa salah satu pasangan calon peserta pemilu Calon Presiden Calon Wakil Presiden tidak sah, dengan merujuk kepada putusan MK Nomor 90/ PUU-XXI/2023, dan mengajukan permohonan/ tuntutan/ petitum agar diselenggarakan Pemilu Ulang dengan tidak mengikutkan paslon atau salah satu paslon yang dianggap diuntungkan dengan adanya putusan MK a quo atau nomor 90 di atas.
Kalau secara sederhana, dapat saja dijawab dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan di atas, bahwa Mahkamah Konstitusi/ MK akan memberikan putusan N.O dengan alasan:
- Kewenangan MK adalah untuk memeriksa hasil Pemilu, dan bukan proses Pemilu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Keputusan KPU Nomor 1632 tahun 2023 adalah rangkaian dari sebuah Proses dan bukan hasil. Termasuk dalam proses tersebut adalah Putusan MK nomor 90/ PUU-XXI/2023
- Putusan MK adalah bersifat final and binding. Sifat final and binding (erga omnes dan inkracht van gewisje) tersebut berlaku untuk semua pihak termasuk untuk MK sendiri. Dengan kata lain, MK tidak dapat melanggar putusan MK,
Tetapi apakah sesimpel itu?
Tentu saja tidak. Hukum tidak saja hanya merupakan rentetan atau rangkai untai peraturan perundang-undangan. Cara pandang demikian adalah cara orang kebanyakan (kaum awam/ layman on the street). Para pendekar hukum terbaik dan ternama di Indonesia turun gelanggang dalam pertarungan di MK. Tentu saja tidak ada yang mau dipermalukan dengan kemungkinan putusan N.O. Segala keahlian, argumentasi dan kontra argumentasi maupun peristiwa dan atau hal-hal lain di luar persidangan akan menjadi amunisi dan kontra amunisi yang turut berkelindan. Ini akan menjadi show dan tontonan yang mengasyikkan. Kita perlu menunggu -- dengan adab kesantunan yang santuy hingga MK mengayunkan palu putusannya.
Selain itu, jangan lupa dalam hukum ada juga adagium exceptio quoque regulam declarant yang artinya sebuah pengecualian adalah juga merupakan aturan hukum.
Nah ..... bingung?. Namanya juga hukum. Ya harus begitu... Full of complication [untungnya, tetap asyik].
Jakarta, 26 Maret 2024
Penulis:
Sarjana Hukum, tinggal di Jakarta