Beberapa fenomena dan peristiwa berikut, dalam konteks hubungan kebijakan dan interaksi antar bangsa, menunjukkan pengertian geopolitik klasik menjadi kurang atau tidak relevan.
Perang sipil di Suriah misalnya. Perang sipil yang meletus sejak bulan Maret 2011 dengan berbagai intensitas dan dinamikanya tersebut, tidak mudah menarik benang merah pihak-pihak yang bersekutu maupun berseberangan.Â
Pada kubu Pemerintah Presiden Bashar al-Assad ada Hezbollah, Iran, Rusia dan Irak. Pada kubu Perdana Menteri Syrian National Coalition mendapatkan dukungan Turki dan pendanaan dari Amerika Serikat.Â
Sedangkan pada kubu Islamic State yang dikomandani Abu Al-Hasan al-Hashimi al-Quraishi, terdapat sejumlah organisasi yang menentang Pemerintahan al-Assad.Â
Tetapi tidak diketahui dengan jelas apakah kelompok ini berada atau mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat. Pada kelompok pejuang administrasi otonom Timur dan Utara Siria, intinya adalah para pejuang etnis Kurdi, Arab dan Assyrian.
Negara-negara yang mendukung Pemerintah al-Assad seperti Iran atau Irak maupun yang mendukung Syrian National Coalition seperti Turki, perlu berhitung.Â
Kebangkitan perjuangan administrasi otonom, dapat menjadi pemicu atau trigger bagi pemberontakan di negara-negara mereka, di mana oposisi kaum Kurdi memiliki aspirasi kemerdekaan, separatisme atau otonomi yang sangat luas.Â
Bangsa Kurdi memiliki identitas budaya, bahasa serta warisan kebanggaan historis di masa lalu, termasuk memiliki dinasti dinasti yang berjaya. Salahuddin Ayyubi (Sultan Saladin) yang berhasil menaklukkan Yerusalem pada perang salib abad kedua belas misalnya, adalah orang Kurdi.Â
Wilayah Kurdistan termasuk orang-orangnya saat ini terbagi di titik simpul perbatasan Turki, Suriah, Iran dan Irak. Penduduknya sekitar 23 juta jiwa, pada wilayah seluas 360 ribu kilometer persegi, atau sekitar dua kali lipat dari luas Suriah. Â Di negara-negara yang disebut di atas orang Kurdi umumnya adalah suku bangsa kedua terbesar.
Dalam peperangan Rusia di Ukraina, Swedia dan Finlandia yang sebelumnya negara netral mengajukan diri untuk bergabung ke NATO.Â
Atas rencana bergabungnya kedua negara Skandinavia tersebut, Turki menyampaikan protes keras, karena kedua negara ini dianggap memberikan perlindungan dan fasilitasi kepada para kaum pejuang separatis Kurdi.Â