Apabila di overlay (ditumpang tindihkan) peta perbatasan di kepulauan Natuna, masing masing Negara akan memiliki versi yang belum seragam. Bahkan ada wilayah kerja migas yang ditetapkan Indonesia di tapal batas tersebut, juga merupakan peta wilayah kerja migas versi negara tetangga.
Kedua, istilah Zona Ekonomi Ekslusif pada dasarnya adalah hak yang diberikan kepada Negara Pantai (coastal state), yang tercantum pada Bagian V dokumen konvensi UNCLOS.
Sedangkan hak kedaulatan teritorial eksklusif yang diakui kepada Negara Kepulauan (archipelagic state) adalah menyangkut perairan pedalaman (inner water) sebagaimana tercantum pada Bagian IV.
Apabila zona teritorial, zona tambahan dana ZEE negara kepulauan bersinggungan dengan hak hak dan kepentingan tradisional negara lain yang telah ada dan hak hak lain yang diperjanjikan sebelumnya maka hal tersebut harus tetap berjalan dan dihormati (Part IV article 47- 48). RRC, Malaysia dan Vietnam adalah coastal states.
Ketiga, tidak semua Negara menjadi penandatangan dan mengakui UNCLOS, atau mengakui penyelesaian sengketa dibawah arbitrase sesuai UNCLOS. Amerika Serikat adalah contoh Negara yang tidak meratifikasi konvensi hukum laut UNCLOS.
RRC termasuk sebagai Negara penandatangan, namun tidak mengakui putusan penyelesaian sengketa di bawah UNCLOS. Amerika Serikat dan RRC adalah dua Negara pemegang hak veto di dewan keamanan PBB.
RRC menetapkan sepihak klaim batas zona kepentingannya di Laut China Selatan jauh ke selatan, yang dikenal dengan garis putus-putus sembilan (dot nine).
Banyak Negara terkena dan tumpang tindih dengan klaim sepihak RRC atas dasar klaim historis hak nelayan tradisional (istilah dan hak seperti ini juga diakui oleh UNCLOS). Persoalan ini dibawa oleh Filipina ke Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 2013. Putusan PCA tahun 2016 tidak mengakui hak klaim teritorial RRC atas dot nine. Putusan tersebut serta merta ditolak, tidak diakui dan diabaikan oleh RRC.
Indonesia mengalami pengalaman pahit bersengketa kedaulatan perbatasan laut yang berujung pada hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2003 kepada Malaysia dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Dalam voting, 16 dari 17 hakim memenangkan Malaysia atas dasar doktrin penguasaan efektif (principle of effectivite).
Mahkamah memutuskan berdasarkan fakta bahwa pemerintah Inggris (penguasa Malaysia sebelumnya) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan pendirian dan pengoperasian mercu suar sejak 1960-an (yang tidak diprotes oleh Indonesia).
Pengadilan mempertimbangkan bahwa Malaysia telah menunjukkan penguasaan yang efektif secara legislatif, administratif, dan kuasi judisial.