Mohon tunggu...
Samon Sari Adinda
Samon Sari Adinda Mohon Tunggu... -

Sociology

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Teori Konflik dalam Perspektif Sosiologis

1 Juli 2015   11:08 Diperbarui: 1 Juli 2015   11:08 19305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan merupakan siklus yang panjang, didalamnya ada manusia berperan sebagai aktor utamanya. Manusia hidup dalam waktu ke waktu, seiring berjalannya siklus kehidupan yang terus berputar, selalu ada perkembangan, membawa perubahan dan menciptakan sejarah akan dirinya. Manusia adalah mahluk yang memiliki rasa kepuasan yang tak terbatas, kebutuhan yang tak ada habisnya, rakus dan saling ketergantungan. Oleh karena itulah kehidupan manusia senantiasa penuh dengan keinginan, harapan dan pertimbangan. Keinginan untuk memenuhi kepuasannya, harapan yang selalu ingin kehidupannya baik dan mempertimbangkan segala sesuatu secara rasional ataupun tidak. Namun, ketika keinginan tidak bisa tercapai, harapan tak sesuai dengan kenyataan dan pertimbangan sangat sulit untuk memilih apa yang akan dipilih maka akan terciptalah konflik, baik itu konflik dalam dirinya sendiri maupun orang lain, menjadikan kehidupan tak selalu berjalan mulus.

Konflik menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Manusia tidak akan pernah terlepas dari konflik, karena manusia hidup bermasyarakat dan dalam bermasyarakat itu sendiri terdapat struktur yang mengatur sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu tatanan masyarakat yang kompleks. Selain itu, interaksi sosial yang terjadi dalam bermasyarakat juga menjadi pemicu terjadinya konflik. Interaksi didalamnya juga diatur oleh struktur sosial yang mengatur perilaku dan mempengaruhi personal seseorang atau bahkan membentuknya. Kesimpulannnya, interaksi sosial yang diatur oleh struktur sosial akan menimbulkan konflik dan akan membentuk personalitas manusia.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas, berikut akan di ulas mengenai perspektif konfik secara ringkas dalam pandangan tokoh-tokoh sosiologi. Antara lain:

Karl Marx

Karl Marx memandang konflik sebagai sisi lain dari sudut pandang bidang ekonominya. Hal ini nampak terlihat dari teori-teorinya, misal tentang nilai kerja. Menurut Marx, aplikasi kerja manusia merupakan hasil transformasi dari seluruh sumber nilai (Collins, th-. 53). Selain itu, dalam karyanya yang lain yakni Das Kapital, Marx menunjukan bahwa kapitalisme suatu saat akan runtuh walaupun dengan berbagai cara melakukan produksi (Sindhunata, 1982: 41).

Masih dalam perspektif Marx memandang konflik, ia mengembangkan teori konflik dengan beberapa konsepsi yakni konsepsi tentang kelas sosial, perubahan sosial, kekuasaan dan negara dimana konsepsi-konsepsi tersebut saling berkesinambungan. Sebagaimana dalam masyarakat  kapitalis, konflik selalu terjadi antara kaum yang memiliki dan menguasai alat-alat produksi dan dengan yang tidak, yakni borjuis dan proletar.

Ketika borjuis dapat memiliki dan menguasai alat-alat produksi tentu ada legitimasi atau tanda kepemilikan legal yang diberikan oleh negara, karena negara juga memiliki kepentingan. Sehingga borjuis memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang akan diproduksi. Menurut Marx, dalam konteks ini hukum lebih banyak berfihak pada kaum borjuis dibanding proletar, baginya negara merupakan komite eksekutif kaum borjuis (Cuff & Payne, 1984: 92). Selain itu, terdapat stratifikasi antara kaum borjuis dan kaum proletar dan terbentuklah kelas-kelas sosial yang mendukung terjadinya perubahan sistem sosial yang menimbulkan konflik. Marx membagi kelas-kelas sosial tersebut antara lain kelas yang memiliki kepentingan dan kelas yang ingin mengubah sistem sosial.

Max Weber

Lain halnya dengan Karl Marx, Weber lebih cenderung memandang fenomena konflik berdasarkan pemikiran rasionalitas. Weber membagi rasionalitas dalam empat tipe antara lain: pertama, rasionalitas praktis yakni lebih memandang dan menilai aktivitas sosial yang berhubungan dengan kepentingan dirinya secara pragmatis dan egoistik. Kedua, rasionalitas teoritis, yakni lebih memahami terlebih dahulu realitas yang ada. Ketiga, rasionalitas substansif, yakni mengikut sertakan cara-cara untuk mencapai tujuan. Keempat, rasionalitas formal, yakni mengkalkulasikan cara-cara untuk mencapai tujuan.

Selain dasar pemikiran rasionalitas, Weber juga mengkaji fenomena konflik dalam kajian deterministik ekonomi dan stratifikasi sosial yang dibaginya menjadi kelas, status dan partai. Dimana seluruhnya juga saling berpengaruh. Cuff & Payne (1984: 96), Weber mengatakan bahwa posisi Marx lebih menekankan bahwa perubahan memerlukan tindakan sosial. Dalam hal ini, Weber tergugah untuk menemukan tindakan apa yang paling tepat yang dapat membawa perubahan. Dalam karyanya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, ia mengkaji bagaimana awal kapitalisme terjadi dan berkembang pesat di negara barat, yakni karena adanya ajaran Calvinisme.

Calvinisme merupakan ajaran dari agama Protestan yang mengajarkan umatnya untuk selalu bekerja keras mencari uang dan berhemat serta hidup sederhana agar semakin dekat dengan Tuhan atau menjadi pilihan Tuhan. Dengan kata lain, menumpuk harta agar dapat memiliki dan menguasai alat-alat produksi sehingga ia dapat bekerja lebih efisien dan lebih mendapatkan keuntungan. Dari sini lah, semangat kapitalis di negara-negara barat muncul dan terus berkembang karena ide religius tersebut telah memotivasi individu-individu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Weber membuktikan bahwa perubahan sosial tidak hanya didasari oleh konteks ekonomi saja, tetapi religiusitas juga dapat mendorong perubahan.

Ralf Dahrendorf

Setelah membahas perspektif konflik Karl Marx dan Max Weber, perspektif konflik yang selanjutnya adalah perspektif konflik dari Ralf Dahrendorf. Dahrendorf melalui  karyanya Clas and Conflict Class in Industrial Society berupaya memodifikasi konsep teori konflik Marx. Ia beranggapan bahwa konsep-konsep konflik Marx hanya berlaku pada saat masyarakat kapitalis saja, tetapi tidak pada masyarakat pasca kapitalis atau ia meyebutnya dengan masyarakat modern industrial. Menurut Dahrendorf, konflik pada masyarakat modern industrial tidak hanya dalam konteks pemilik alat-alat produksi yang selalu disangkut-pautkan Marx dengan ekonomi, politik dan sosial.

Modifikasi yang ia lakukan adalah dengan membangun pemahaman baru tentang perubahan struktur sosial masyarakat pasca kapitalis antara lain, dekomposisi kapital, dekomposisi pekerja, perkembangan kelas menengah baru, pertumbuhan mobilitas sosial dan pertumbuhan persamaan. Kelima hal tersebut menjelaskan proses perubahan masyarakat modern industrial tentang struktur kelas pekerja. Singkat kata, profesi-profesi yang muncul dikalangan masyarakat modern industrial menjadi tergolong sebagai pekerja tanpa harus memiliki alat-alat produksi. Hal ini yang menjadi kritik Dahrendorf tentang konsep-konsep konflik Marx tidak berlaku lagi dalam masyarakat modern indusrtial karena para pekerja telah menempatkan profesi-profesi mereka dan telah terlegitimasi.

Cuff & Payne (1984: 103) menyebutkan bahwa menurut Dahrendorf konflik yang terjadi dalam kelompok-kelompok kepentingan harus dipahami terlebih dahulu. Konflik dalam masyarakat pasca kapitalis telah terlembaga atau di ‘setting’.

Menurutnya, konflik telah diatur sedemikian rupa oleh kelompok yang memiliki kepentingan dan konflik tidak lagi merusak sistem sosial. Kelompok kepentingan artinya kelompok yang saling terhubung satu sama lain karena keterikatannya (Dahrendorf, 1986: 222). Selain itu, Dahrendorf mengatakan bahwa dalam masyarakat pasca kapitalis terdapat dua jenis kelompok yang mempengaruhi pembentukan kelas yakni kelompok potesial dan kelompok kepentingan, dan konflik hanya muncul pada kedua kelompok tersebut (Dahrendorf, 1986: 305-306).

Demikian penjelasan singkat perspektif konflik dari tiga tokoh sosiologi diatas. Dahrendorf dalam kritiknya terhadap konsep pemikiran Karl Marx seakan terlalu terburu-buru dalam membangun pemahaman baru terhadap masyarakat industrial modern. Karena kenyataannya kapitalis masih menguasai sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki modal untuk usahanya atau tidak mampu untuk mencari pekerjaan apapun profesinya itu, profesi yang dijadikan suatu pekerjaan sebelumnya juga memiliki proses yang panjang untuk mendapatkan profesi tersebut. Sebagai contoh jika seorang anak miskin ingin menjadi seorang pilot atau dokter atau guru atau yang lain sebagainya, maka ia harus terlebih dahulu meraih pendidikan yang sesuai dan setara dengan profesi yang di inginkan tersebut. Oleh karena itu, bidang ekonomi menjadi salah satu konsepsi konflik baik dalam masyarakat kapitalis maupun masyarakat modern industrial sekalipun, karena saai ini yang namanya pekerjaan apapun membutuhkan modal walau sekecil apapun.

Kesimpulannya adalah konflik yang terjadi dalam masyarakat disebabkan karena adanya interaksi sosial yang telah dipengaruhi oleh struktur sosial dan terdapat kepentingan-kepentingan kelompok masing-masing didalamnya serta didominasi oleh pengaruh-pengaruh lain seperti ekonomi, sosial dan sebagainya. Konflik memang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. Disisi lain, keberadaan konflik seharusnya memang ada, guna membangun kesatuan yang lebih kokoh dalam suatu kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun