Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ponakan Prabowo Terus Diserang, dari "Paha Mulus" hingga "Coblos Udel"

26 Oktober 2020   19:19 Diperbarui: 26 Oktober 2020   19:23 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HIRUK pikuk aktivitas politik jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 telah mulai terasa sejak beberapa pekan ini. Baligo, media sosial atau obrolan di warung kopi seolah menandakan bahwa denyut pesta demokrasi menjaring para pemimpin daerah tersebut kian dekat.

Dilihat dari sisi positifnya, kemeriahan jelang Pilkada serentak patut disambut gembira. Ini mengisyaratkan masih besarnya antusiasme publik terhadap pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Namun perlu digarisbawahi, segala bentuk kemeriahan ini harusnya diimbangi oleh segenap elemen masyarakat yang terlibat, menjungjung tinggi asas persaingan sehat dan bermartabat. Dengan begitu, setidaknya masyarakat bisa berharap, bahwa hasil dari Pilkada nantinya menciptakan pemimpin bersih dan bermartabat pula.

Tapi, harapan tinggal harapan. Hampir setiap pemilihan umum, baik pemilihan anggota legeslatif, calon pemimpin daerah maupun presiden, kampanye hitam atau black campaign selalu menjadi bumbu. Sehingga aroma persaingan kerap memanas.

Black campaign adalah tindakan menyerang pihak lawan bukan dengan fakta tidak benar. Black campaign biasanya dilakukan dengan cara mengungkapkan keburukan suatu pihak dengan tujuan untuk menjatuhkan kredibilitas pihak tersebut.

Selain bermaksud menjatuhkan pihak lawan, black campaign bisa juga dilakukan pihak internal dengan maksud tertentu, seperti mendapatkan simpati publik sebagai pihak yang terzalimi. Terlepas dari siapa pun yang membuat materi black campaign dan apa pun motifnya, perilaku ini dapat mengancam kemurnian proses demokrasi.

Contoh teranyar korban black campaign adalah calon Walikota Tangerang Selatan, Rahayu Saraswati Djoyohadikoesoemo. Keponakan dari Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tersebut baru-baru ini mendapat serangan yang mengarah kepada fisiknya.

Dikutip dari Suara.com, pemilik akun Facebook bernama Bang Djoel memposting foto hamil Rahayu saat dirinya tengah melakukan pengambilan foto mothernity dengan kondisi perut buncit hamil dengan pusar telihat. Foto tersebut diposting ke grup Tangsel Rumah dan Kota Kita. Parahnya, foto itu disertai dengan tulisan yang mengarah para pelecehan.

'Yang mau coblos udelnya silahkan... Udel dah diumbar.. pantaskah jadi panutan apalagi pemimpin tangsel??'

Atas kejadian tersebut, Rahayu berencana akan melaporkan hal itu pada pihak kepolisian, karena dianggap telah melecehkan dengan sebutan 'coblos udel'. Hal ini dinilai sebagai pelecehan seksual.

Serangan ke arah bentuk fisik Rahayu bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, dia juga pernah diserang oleh politisi senior Partai Demokrat, Cipta Panca Laksana.

Melalui akun twitter pribadinya, Panca melemparkan cuitan soal 'paha mulus' yang ditujukan pada calon Walikota Tangerang Selatan itu. Polemik ini sempat membuat Panca dan partainya jadi bulan-bulanan publik.

Apa yang terjadi pada Rahayu tentu hanya menjadi contoh kecil dari sekian banyak kasus black campaign yang terjadi pada setiap perhelatan pesta demokrasi. Ini merupakan masih buruknya iklim demokrasi yang terjadi di tanah air. 

Hanya demi sebuah kekuasaan, mereka tega melakukan segala cara, termasuk menyerang lawan politiknya dengan cara-cara kurang bermoral.

Negative Campaign

Selain black campaign, dalam perhelatan pesta demokrasi dikenal juga istilah negative campaign. Istilah ini pada prinsipnya sama, yakni menjatuhkan pihak lawan.

Jika black campaign menyerang lawan politik dengan data-data tidak jelas kebenarannya. Negative campaign justru menyerang lawan dengan data-data negatif agar logika publik terpengaruh dan segera mengubah sikap politiknya.

Jadi intinya, negative campaign menggunakan data dan fakta yang valir ean berbasis logika. Sementara black campaign lebih cenderung mengarah fitnah dan bermain di tataran emosi lawan dan publik.

Namun apapun istilahnya, hal-hal yang bisa membuat jatuh lawan dengan cara-cara tidak baik harusnya diharamkan dalam setiap ajang apapun. 

Karena, jika model-model seperti ini masih terus dilakukan dan berhasil mempengaruhi publik, maka akan merusak tatanan demokrasi itu sendiri. Akibatnya, model kepemimpinan yang dihasilkan pun boleh jadi akan jadi cacat moral.

Dalam hal ini, pemimpin yang berkuasa bukan berdasarkan kehendak murni isi hati rakyat. Akan tetapi, karena terpedaya dan terhasut dengan cara-cara kotor.

Menjadi tugas dan kewajiban Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masing-masing daerah penyelenggara Pilkada serentak untuk mampu meminimalisir dan bahkan menghanguskan praktik-praktik kotot seperti ini, demi terciptanya persaingan sehat dan iklim demokrasi sehat dan bermartabat.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun