MENJELANG dan setelah pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat digadang-gadang bakal menjadi salah satu menterinya. Wacana ini muncul pasca adanya pertemuan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Jokowi di Istana Negara.
Namun, saat pengumunan nama-nama menteri yang masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM), 23 Oktober 2019, nama AHY tidak termasuk dalam daftar. Banyak rumor mengatakan, gagalnya mantan tentara berpangkat Mayor menjadi salah satu pembantu Jokowi tersebut akibat belum harmonisnya hubungan SBY dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri.
Seperti diketahui hubungan SBY dengan Megawati memang sudah tidak harmonis sejak Pilpres 2004. Karena hubungan kurang baik ini pula diduga kuat membuat Megawati tidak memberikan restu pengangkatan AHY jadi salah satu menterinya Jokowi.
Waktu terus berlalu, nama AHY kembali mencuat bakal menjadi salah satu pengganti menteri yang direshufle. Isu tersebut muncul setelah video kemarahan Presiden Jokowi pada sidang kabinet paripurna yang digelar pada Kamis, 18 Juni 2020, viral dan menyita perhatian publik.
Dalam sidang kabinet tersebut, Presiden Jokowi melontarkan pernyataan sangat keras. Dia mengancam akan mereshufle kabinet dan membubarkan lembaga yang dianggap tidak diperlukan.
Tak terbendungnya kekesalan Presiden Jokowi tak lepas dari kinerja para menterinya yang dianggap masih biasa saja di tengah situasi krisis luar biasa diakibatkan pandemi virus Korona (Covid-19).
Isu reshufle tersebut sepertinya ditangkap betul oleh Partai Demokrat. Kendati statusnya di luar pemerintahan, sikap partai dan AHY selaku ketua umumnya tidak terlalu keras. Bahkan, cenderung memperlihatkan sikap politik "mendukung" kebijakan pemerintah.
Tak sedikit pengamat menilai sikap "berbaik-baik" Partai Demokrat kepada pemerintah itu wajar demi menjaga kemungkinan ketua umumnya, AHY diangkat jadi menterinya Jokowi, jika reshufle benar-benar dilaksanakan.
Namun, wacana hanya sebatas wacana. Presiden Jokowi sejauh ini tidak tampak akan mereshufle kabinet. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini tampaknya masih terus memberikan kepercayaan, meski sebagian diantaranya kerap mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan.
Ketidak pastian reshufle ini sepertinya perlahan merubah sikap politik AHY dan Partai Demokrat. Sebelumnya masih berusaha untuk berhati-hati dalam melancarkan kritik, kini mulai bersikap terang-terangan.
Contoh paling sahih tentu saja terkait Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Terhadap produk undang-undang "Sapu Jagad" tersebut, Partai Demokrat benar-benar menolaknya dengan sangat keras.
Partai berlambang Mercy tersebut seolah ingin memperlihatkan terhadap masyarakat bahwa partainya merupakan oposisi sejati, yang siap menolak setiap kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan yang tak sejalan dengan keinginan publik.
Bukti kerasnya penolakan Partai Demokrat terhadap UU Ciptaker terjadi saat sidang paripurna DPR, Senin (5/10). Saat itu terjadi dua insiden yang melibatkan anggota DPR Fraksi Demokrat. Yaitu, sabotase mikropon karena interupsi Irwan Fecho dan walk out yang dipimpin oleh Benny K Harman.
Bentuk kritik lain Partai Demokrat adalah terkait dengan kinerja Presiden dan wakil presiden setelah setahun menjalankan roda pemerintahan. Disampaikan Wasekjend DPP Partai Mercy, Irwan, setidaknya mencatat tiga kegagalan dalam satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Adapun tiga kegagalan tersebut seperti dikutip dari Tribunnews.com adalah :
Pertama : Jokowi telah gagal menangani pandemi Covid-19 di Tanah Air. Pemerintah terbukti lamban dalam mengambil kebijakan yang tepat.
Kedua : Â Pemerintah Jokowi gagal dalam program memulihkan ekonomi nasional. Jokowi bersama para pembantunya gagal menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi pada kuartal III tahun 2020. Faktanya, realisasi pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II tahun ini minus 5,32%. Sementara kuartal III dipastikan minus dengan proyeksi antara -2,9% sampai -1%.
Ketiga : Pemerintah Jokowi gagal dalam menumbuhkan nilai-nilai demokrasi bangsa. Buktinya, banyak kebijakan serta tindakan pemerintah yang represif dan membungkam ruang tumbuh demokrasi di bawah kepemimpinannya.
Dalam pandangan sederhana penulis, keberanian Partai Demokrat dalam menentang dan mengkritisi pemerintah tentu sudah dipikirkan matang. Mereka telah siap dengan segala konsekwensi yang bakal terjadi.
Salah satu konsekwensi yang penulis lihat adalah peluang AHY menjadi menterinya Jokowi bakal semakin jauh dari genggaman. Atau, boleh jadi memang AHY sudah tidak berminat lagi tergabung dalam KIM. Maka, mereka berani terang-terangan mangambil sikap bersebrangan dengan pemerintah.
Sikap ini jelas jauh berbeda dengan beberapa waktu ke belakang. Partai yang resmi disahkan pada 27 Agustus 2003 ini selalu menggunakan politik dua kaki atau politik "cari aman".
Bagi penulis, sikap tegas Partai Demokrat ini jauh lebih baik dibanding hanya bisanya cari aman. Namun, hasilnya tetap saja kurang memuaskan. Bahkan cenderung merugikan dan mendapat banyak olok-olok dari masyarakat.
Mengutip dari kata-kata saudara penulis yang pernah merasakan empuknya kursi DPRD Kabupaten Sumedang, bahwa politik itu sama halnya bermain judi. Harus berani berspekulasi dan ambil resiko. Jika mujur akan untung, sebaliknya kalau apes akan buntung.
Kita lihat, apa yang bakal terjadi dengan Partai Demokrat saat memutuskan sikap tegas politiknya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H