TANGGAL 20 Oktober 2020 pemerintahan Presiden Jokowi periode keduanya telah genap satu tahun. Tak terasa, bukan? Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak luka-liku yang dihadapi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.Â
Maaf, bukan bermaksud untuk melemahkan apalagi menjelekan Presiden Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan. Tapi, nyatanya memang tidak banyak yang bisa diperbuat. Bahkan, tingkat pertumbuhan ekonomi pun terjun bebas hingga di ambang resesi.Â
Jokowi tidak mampu? Terlalu pagi jika kita beranggapan kinerja Presiden Jokowi buruk hingga tak mampu membawa Indonesia lebih maju. Sebab, di tahun pertamanya menjalankan roda pemerintahan bersama Ma'ruf Amin dihadapkan pada permasalahan global. Pandemi virus Korona (Covid-19).Â
Diketahui, virus Korona masuk ke tanah air sejak awal Maret 2020. Sejak itu pula pemerintah dihadapkan pada permasalahan sangat pelik. Imbasnya tidak hanya mengganggu stabilitas kesehatan dan keselamatan warga masyarakat Indonesia. tetapi memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi.Â
Tengok saja, angka kasus yang diakibatkan virus Korona hingga Selasa, 20 Oktober 2020 mencapai 368.842 jiwa. Dari jumlah total ini 293.653 jiwa diantaranya sembuh dan  12.734 orang dinyatakan meninggal dunia.Â
Sementara dari aspek ekonomi, ganasnya wabah virus Korona memaksa pemerintah mengubah alokasi anggaran secara besar-besaran. APBN 2020 yang disusun sebelum pandemi terpaksa direvisi karena tak bisa menjawab kebutuhan darurat penanganan situasi.Â
Payung hukum pun disiapkan dari Perpu No. 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi UU No. 2 tahun 2020 soal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan virus asal Wuhan, China itu. Kedua aturan tersebut memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk merespon situasi pandemi.Â
Akibatnya seperti dikutip dari Katadata.co.id, APBN 2020 pun diubah hingga dua kali dari defisit sebesar 5,07% menjadi 6,34% PDB. Alokasi penanganan Covid-19 menjadi Rp 695,2 T dengan Rp 87,55 T di antaranya difokuskan untuk kesehatan. Dalam RAPBN, pos anggaran serupa juga dialokasikan senilai RP 169,7 T mengingat dampak pandemi diduga masih berjalan hingga 2021.Â
Sebagai pimpinan negara sudah pasti Presiden Jokowi dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi hari ini. Cibiran dan beragam kritik pun seolah menjadi menu wajib baginya. Ia dianggap mancla-mencle dalam menerbitkan aturan penanganan virus Korona.Â
Bahkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020, untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang, tentang kebijakan keuangan dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi memantik reaksi panas. Presiden Jokowi diterpa isu pemakzulan.Â
Isu panas ini mengemuka karena Perppu nomor 1 tahun 2020 oleh sebagian pihak dinilai sebagai bentuk sabotase kosntitusi. Karena itu beberapa tokoh nasional sempat menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak dimaksud antaranya adalah mantan Ketum PAN, Amien Rais dan mantan Ketua PP Muhamadiyah, Din Syamsuddin.Â
Din Syamsuddin pula yang sempat menggoreng Perppu nomor 1 tahun 2020 tersebut membuka peluang pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Ia menyebut, dalam konteks politik Islam, pemakzulan sangat mungkin.Â
Menurut Din, ada tiga sarat untuk bisa memakzulkan kepala negara sesuai dengan pandangan pemikir Islam, Al-Mawardi.Â
Dikutip Tempo.co, ketiga syarat tersebut adalah tidak adanya keadilan, tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional, dan kehilangan kewibawaan dan kemampuan memimpin terutama dalam masa kritis.
Isu pemakzulan terhadap Presiden Jokowi bukan kali pertama terjadi. Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh sebelumnya sempat melontarkan hal serupa. Pemantiknya adalah wacana penerbitan Perppu KPK. Sebab, menurutnya jika terjadi kesalahan, impeachment atau pemakzulan jadi risikonya.Â
Omnibus Law UU CiptakerÂ
Begitu DPR mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU, Senin (5/10/20), aksi massa terjadi di beberapa daerah. Buruh dan mahasiswa bersatu menolak produk legeslasi dimaksud, karena dinilai sangat merugikan.Â
Tak lama berselang, aksi demo penolakan UU "Sapu Jagad" itu juga dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dan Persaudaraan Alumni (PA) 212. Lucunya, isu yang disuarakan oleh kelompok islam ini tidak benar-benar fokus pada substansi masalah. Suara mereka ujung-ujungnya bermuara pada tuntutan pemakzulan.Â
Muncul dugaan, apa yang disuarakan kelompok islam ini bukan semata-mata menyuarakan aspirasi rakyat, tetapi diselipi hidden agenda. Melengserkan Jokowi dari jabatannya.Â
Menjadi haknya menuntut Jokowi mundur. Namun, perlu di garis bawahi keinginannya ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Jalannya panjang dan berliku.Â
Pasal 7A dan 7B UUD 1945, seperti sebuah gembok kuat untuk pemerintahan presidensial. Hampir tak memungkinkan Presiden dimakzulkan, kecuali melakukan tindakan atau prilaku yang sangat gila. Misal, memperkosa SPG atau maling duit negara dan ketahuan.Â
Saatnya BersatuÂ
Dalam satu tahun pemerintahannya, penulis yakin Presiden Jokowi tidak akan mampu menanggung beban berat ini sendirian. Dalam kondisi negara yang tengah dilanda krisis, sejatinya semua elemen masyarakat bahu-membahu mencari cara keluar dari krisis.Â
Bukan saatnya saling salah-menyalahkan. Karena jika kurang hati-hati dalam menyikapi kemungkinan akan dijadikan peluang pihak yang selama ini bersebrangan dengan kebijakan pemerintah.Â
Mereka bisa lebih memperkeruh suasana, sehingga kondusifitas keamanan negara terganggu. Selanjutnya memanfaatkan kesempatan itu demi kepentingan politiknya.Â
Jika terjadi, jangan harap Indonesia mampu keluar dari krisis. Sebaliknya, akan lebih terjerumus pada jurang kesengsaraan yang lebih parah.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H