SEIRING dengan perkembangan zaman, bisnis prostitusi, khususnya di tanah air mengalami transformasi yang begitu pesat. Sekarang, bisnis yang akrab juga dengan sebutan bisnis esek-esek ini tidak lagi konvensional, tetapi telah hadir dengan beragam cara.
Salah satu bukti yang kerap kita saksikan di televisi adalah banyak terciduknya para pelaku bisnis lendir ini rata-rata memanfaatkan media sosial yang sudah serba canggih. Istilahnya adalah bisnis prostitusi online.Â
Namanya bisnis esek-esek online, pada praktiknya dalam bisnis ini si wanita yang akan di sewa atau pria hidung belang pencari mangsa tidak langsung face to face atau berhadapan saat bertransaki. Biasanya para wanita yang akan menjual jasa "goyangannya" itu berada dalam asuhan satu orang yang biasa disebut Germo.
Germo ini yang nantinya memasarkan atau menawarkan si wanita kepada para pria hidung belang atau pelanggan dengan menggunakan fasilitas media sosial. Misal lewat WhatsApp, facebook dan lain sebagainya.
Tentu, dalam manawarkan "anak asuh" atau wanita penghibur tersebut, si Germo telah memajang foto berikut tarifnya. Jika ada yang nyanggut, di sinilah si Germo mulai bertransaksi tentang cara pembayaran. Biasanya sebagai tanda jadi, si pelanggan diminta uang muka dan sisanya dibayar langsung di tempat eksekusi.
Selain lewat Germo. Bisnis prostitusi online ini ada juga wanita penjaja seks yang langsung menawarkan diri. Caranya masih tetap memanfaatkan media sosial. Hanya saja aplikasi yang digunakan sedikit berbeda. Rata-rata wanita yang ingin straight conection dengan calon pelanggan menggunakan aplikasi WeChat atau Betalk.
Biasanya, cara si wanita atau pelaku dalam menawarkan layanan jasa esek-eseknya dengan membubuhkan tulisan "Open BO" atau Booking Out melalui dua aplikasi tersebut di atas. Miris, tapi itulah realita yang terjadi saat ini.Â
Prostitusi Zaman Belanda
Kendati begitu, bisnis esek-esek ini tidak hanya terjadi pada beberapa waktu belakangan, melainkan telah ada sejak zaman dulu kala. Termasuk Indonesia masih dijajah oleh Pemerintah Belanda.
Hanya saja sudah pasti, bisnis esek-esek yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda sangat jauh berbeda dengan cara zaman sekarang. Bisnis prostitusi zaman dulu, pria yang ingin memuaskan syahwat seks-nya harus menyambangi rumah-rumah pelacuran atau rumah bordil.
Selain Dolly, seperti dikutip Nova, ada Saritem, di Bandung. Lokalisasi ini dibangun sejak tahun 1838. Awalnya tempat ini dibangun untuk menghibur tentara Belanda. Namun, perlahan berubah jadi tempat bisnis prostitusi.
Kemudian ada lokalisasi yang bernama Maca Po. Masih dikutip dari Nova, sebelum ada Kali Jodo, Jakarta sudah punya rumah bordil Maca Po. Tempat ini akhirnya ditutup, karena banyak tentara Belanda mati diakibatkan penyakit kelamin.Â
Di Sumedang juga pernah ada tempat pelacuran yang bernama Nyalindung dan Ciromed. Namun sejak beberapa tahun lalu tempat ini telah ditutup pemerintah setempat. Kendati demikian, kabarnya atau menurut informasi dari beberapa orang sahabat, praktik esek-esek ini masih kerap terjadi, meski dengan cara sembunyi-sembunyi.Â
Itulah sekelumit tentang bisnis prostitusi di Indonesia. Mengingat bisnis ini memang merupakan bisnis yang sudah ada sejak zaman dulu kala, rasanya akan sangat sulit bagi negara atau pemerintah mana pun untuk menghentikan bisnis ini.Â
Masalahnya, masih banyak pria hidung belang yang berkeliaran untuk memperoleh kehangatan pelukan wanita sesaat. Di sisi lain, masih banyak pula wanita yang ingin mendapatkan duit dengan cara instan. Alias tidak mau bekerja keras.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H