Seorang perempuan berkebaya warna merah mengambil silet yang terselip dari bilik anyaman bambu. Kemudian menghampiri seorang lelaki yang kedua tangannya diikat. Tak berdaya.Â
"Penderitaan itu pedih, Jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Juga pedih! Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat," ujar wanita itu dengan wajah bengis.Â
Kemudian, laki-laki kasar satu komplotan dengan perempuan tadi menghampiri pria tak berdaya lainnya. Dia menyiksa dan memaksanya pria tak berdaya tadi untuk menandatangani secarik kertas yang berisi pengakuan bahwa "Dewan Jendral" itu ada.Â
CUPLIKAN adegan di atas adalah penggalan dari film "Pengkhianatan G 30 S/PKI" yang disutradarai Arifin C Noer. Pada zaman orde baru (Orba), film ini seolah menjadi tontonan wajib sebagai bentuk propaganda penguasa orde baru (orba) terhadap masyarakat.
Ya, pada malam 30 September 1965 adalah sebuah malam kelam dalam perjalanan sejarah Indonesia. Malam itu menjadi momen durjana bagi para Jenderal yang bertugas di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Tengah malam, mereka diculik oleh pasukan Cakrabirawa, dan berakhir dengan pembantaian sadis.Â
Dalam berbagai versi, penculikan para jendral yang kemudian menjadi pahlawan revolusi tersebut ditenggarai akibat tidak loyal terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno, yang telah di tetapkan MPR sebagai presiden seumur hidup.Â
Konon, para jendral itu dengan sembunyi-sembunyi telah membentuk "Dewan Jendral" yang tujuannya mengkudeta Presiden Sukarno. Namun, isu Dewan Jendral tercium, dan PKI yang kala itu dekat dengan Bung Karno merasakan ancaman. Mereka cepat bergerak dan terjadilah penculikan dan pembunuhan sadis.Â
Adapun para jendral yang diculik pada malam Jumat kelam itu adalah Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Raden Suprapto, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo.Â
Sebenarnya ada satu lagi yang jadi sasaran penculikan, tetapi berhasi lolos. Dia adalah Jenderal TNI Abdul Harris Nasution. Kendati begitu, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.Â
Seperti diceritakan dalam film atau tertulis dalam beragam buku-buku catatan sejarah, keenam jendral dan Lettu Pierre Tendean dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Sebelum akhirnya jasad mereka  pada 3 Oktober 1965, atau dua hari jelang HUT ABRI.Â
Dewan JendralÂ
Tidak dipungkiri peristiwa G 30 S PKI masih menyisakan banyak teori. Mulai keterlibatan badan intelejen pemerintah federal Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA), dan terbentuknya Dewan Jendral.Â
Bahkan berdasarkan dokumen CIA yang sudah bisa diakses publik sejak tahun 2017 lalu, begitu banyak konsfirasi yang menyangkut peristiwa seputar 30 September 1965 dan sesudahnya. Dokumen tersebut juga menyertakan dokumen lain yang bisa memberi gambaran lengkap dan makna sejarah untuk pemaknaan yang lebih mendalam terhadap konsolidasi yang dilakukan rezim Soeharto.Â
Namun, segala teori tersebut di atas jauh berbeda dengan narasi Orde Baru yang "mengkambinghitamkan" PKI seutuhnya. Dalam hal ini, penguasa Orba, Presiden Soeharto justru keluar sebagai "Super Hero" yang paling berjasa menjaga stabilitas keamanan pasca terjadinya peristiwa pengkhianatan PKI.Â
Oke, kita singkirkan teori-teori di atas. Dalam kesempatan ini penulis tertarik untuk menguak tentang misteri "Dewan Jendral" Â yang konon sebagai ikhwal dari terjadinya penculikan dan pembunuhan sadis.Â
Apa itu Dewan Jendral?Â
Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, "Dewan Jendral" adalah tuduhan PKI terhadap pihak-pihak petinggi Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal terhadap Presiden Sukarno. Alasannya berdasarkan dari beberapa sumber yang penulis baca adalah kebijakan-kebijakan Presiden pertama RI tersebut sudah tidak lagi mementingkan nasib rakyat. Putra sang fajar itu lebih ingin menonjolkan ketenaran namanya di mata dunia.Â
Pada saat masyarakat tanah air sangat menderita karena krisis ekonomi, Presiden Sukarno malah lebih mementingkan membeli senjata untuk berperang melawan negara tetangga, Malaysia. Kemudian, peristiwa perseteruan dua negara satu rumpun ini menyisakan satu istilah yang masih lekat hingga saat ini, yakni "Ganyang Malaysia".Â
Kebijakan Presiden Sukarno untuk berperang lawan Malaysia dan membeli senjata ini yang ditolak mentah-mentah oleh para petinggi Angkatan Darat. Mereka justru lebih mementingkan nasib rakyat yang terancam kelaparan.Â
Nah, pada saat pihak Angkatan Darat mulai menjauhi Presiden Sukarno, PKI tampil memanfaatkan momentum tersebut. Mereka menyatakan janji setia terhadap pendiri bangsa ini.Â
Namun, usaha PKI ini tidak begitu mulus, karena selalu dihalang-halangi oleh petinggi Angkatan Darat. Karena itu, PKI menganggap TNI AD tersebut sebagai musuhnya.Â
Seperti dikutip dari Musabab.com, untuk melumpuhkan TNI AD, PKI menyebar isu adanya Dewan Jenderal yang dibekingi Amerika Serikat (AS) yang akan menggulingkan Presiden Sukarno. Isu terus disebarkan oleh media-media milik PKI. Hal ini membuat TNI AD marah besar karena Sukarno tak ada upaya menegur PKI agar menghentikan berita bohong itu.Â
Tak cukup di situ, masih dikutip Musabab.com, PKI munculkan isu bahwa TNI AD akan menggelar parade senjata terbesar dan mengundang warga bertepatan dengan HUT ABRI. Senjata dan kumpulan massa yang besar sudah cukup untuk menggulingkan Soekarno.Â
Puncak kelicikan PKI sudah sama-sama kita ketahui, tanggal 30 September 1965 atau 1 Oktober dini hari, pasukan Cakrabirawa bergerak maju menjemput para Jenderal Angkatan Darat, hidup atau mati, dengan dalih untuk menghadap kepada Presiden Sukarno.Â
Entah siapa yang memberi tugas penjemputan dan pembunuhan tersebut. Yang pasti hingga hari ini masih menjadi misteri. Namun, tujuan utama penculikan para jenderal adalah agara mereka mau mengakui adanya Dewan Jenderal yang bertujuan menggulingkan  Sukarno.Â
Beruntunglah Bangsa Indonesia memiliki sosok-sosok patriotisme seperti para pahlawan Revolusi. Daripada menuruti keinginan PKI dengan mengakui hendak berkhianat terhadap Presiden Sukarno, mereka lebih memilih mati dalam kebanggaan sebagai abdi negara.Â
Sebab, jika para Pahlawan Revolusi tersebut terpaksa mengakui dan menandatangani pernyataan adanya Dewan Jendral, bukan tidak mungkin negara kita sudah berubah haluannya menjadi negara komunis. Paling tidak, perjalanan sejarah akan berkata lain, tidak seperti yang sedang kita alami sekarang.Â
Kenapa Soeharto Tidak Diculik?
Mungkin masih banyak yang penasaran tentang apa yang menjadi alasan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto bisa lolos atau tidak diculik PKI. Padahal, saat peristiwa kelabu tersebut dia juga merupakan salah seorang petinggi TNI AD dengan jabatan Pangkostrad.Â
Tabir ini jelas menjadi misteri. Namun berbagai spekulasi tak urung berseliweran diantara sekian banyak teori tentang peristiwa G 30 S PKI dimaksud.Â
Ada yang mengatakan, Soeharto yang saat itu berpangkat Mayor Jendral (Mayjend), adalah dalang di balik semua persitiwa itu. Ada juga juga yang menyatakan pada malam nahas itu, Mayjend Soeharto sedang tidak berada di kediamannya. Dia tengah berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto menemani putra bungsunya, Hutomo Mandala Putra yang sedang sakit. Namun, beda lagi dengan alasan yang disampaikan oleh mantan wartawan senior, Tarman Azzam (Alm).Â
Seperti dikutip dari Okezone.com, dalam sebuah "Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Idelogi Sejenis" yang digelar pada tahun 2016 lalu, Tarman menjelaskan, latar belakang pembunuhan terhadap enam jenderal adalah sakit hati PKI. Â Permintaan mereka agar angkatan ke-5 yakni buruh dan petani dipersenjatai tidak direstui.Â
"Kenapa Pak Harto tidak ada? Karena dia bukan termasuk Jenderal yang dimintai pertimbangan permintaan PKI untuk mempersenjatai angkatan ke-5. Mereka dendam dan jawaban dendam itu ya pembunuhan," tandasnya.Â
Boleh jadi alasan Tarman Azzam ini benar atau bisa juga keliru. Sebab, seperti telah disinggung bahwa peristiwa G 30 S PKI hingga detik ini masih diselimuti banyak misteri. Belum ada satu pihak pun yang benar-benar mampu meluriluskan sejarahnya.Â
Yang pasti, setelah peristiwa berdarah tersebut, Soeharto mendapatkan panggung politiknya. Sejarah mencatat, sejak saat itu karier pria kelahiran Desa Kemusuk, Jawa Tengah, 8 Juni 1921 ini melesat dan mampu menjadi penguasa Orba selama hampir 32 tahun lamanya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H