Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ini Bedanya Korupsi Era Reformasi dengan Zaman Orba!

13 Agustus 2020   20:49 Diperbarui: 13 Agustus 2020   22:02 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


SUDAH sama-sama kita ketahui, tingkat korupsi di Indonesia sudah sangat parah dan menggurita. 

Artinya, praktik-praktik yang sudah masuk pada kategori extraordinnary crime ini tidak hanya terjadi di tataran para elite di tingkat pusat, melainkan sudah bereksvansi hingga tingkat daerah.

Padahal, untuk bisa menekan angka kasus karupsi di tanah air, pemerintah di era reformasi telah berupaya dengan cara membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, anehnya hal itu tak membuat para koruptor jera. Sebaliknya malah semakin merajalela.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita sedikit membahas dulu, tentang apa itu definisi korupsi. Secara sederhana, korupsi bisa diartikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. 

Korupsi juga bisa didefinisikan sebagai tindak penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya. 

Kembali ke tema, tak dipungkiri kalau korupsi di Indonesia bagai gerbong kereta api yang susul menyusul tiada henti. Belum selesai kasus korupsi yang satu, eh muncul lagi kasus lainnya. Dan, begitu seterusnya. 

Sebagai contoh, masyarakat tanah air sempat dihebohkan dengan mega skandal korupsi Bank Century. Namun, belum juga kasus tersebut dituntaskan, publik kembali digemparkan dengan kasus korupsi dana Hambalang. 

Akibatnya, beberapa politisi dan pejabat menjadi korban, dan harus rela menjadi pesakitan di balik jeruji besi penjara. Tak lama berselang, muncul lagu kasus yang tidak kalah fenomenal, yakni kasus kasus korupsi E-KTP. Sudah sama-sama kita ketahui, kasus ini bahkan menyeret mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. 

Kasus yang disebutkan di atas hanya bagian kecil dari sekian banyak kasus yang terjadi di tanah air. Betapa tidak, di daerah pun praktik-praktik korupsi bak jamur tumbuh di musim hujan. Berulang kali operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan kepala daerah dan kerap disiarkan beragam televisi nasional, seolah telah menjadi tontonan biasa bagi publik tanah air. 

Begitu mengguritanya praktik korupsi di Indonesia, sampailah pada anekdot yang terjadi di kalangan masyarakat, bahwa korupsi tidak akan benar-benar bisa diberantas habis meski lembaga pemberantasan korupsi memelototinya tiap saat. 

Tidak hanya lembaga, sejumlah Undang-Undang pun tak luput diterbitkan sebagai senjata untuk menakut-nakuti siapapun yang berniat untuk korupsi. Misal, UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 dan UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Namun, nyatanya Undang-Undang tersebut tak lebih dari sekedar macan kertas di atas meja. Pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh panggang dari api atau jauh dari kata memuaskan, jika tak bisa dikatakan gagal. 

Tak heran, jika akhirnya Indonesia berkali-kali menjadi juara negara paling korup di Asia. Transparency International sempat membuat peringkat dari 180 negara dan menilai mana saja yang mempunyai potensi korupsi yang terbesar, dan tak berpotensi korupsi. 

Indikatornya ditunjukkan dengan skor skala 0 sampai 100. Tahun 2018, Indonesia mendapat skor 37 dan peringkat 96 negara terkorup dari 180 negara di wilayah Asia Pasifik. (Transparency.org). 

Jika diperhatikan, dengan begitu banyaknya kasus korupsi saat ini, sistem demokrasi di Indonesia yang lahir dari reformasi bukan menghilangkan korupsi, melainkan malah melahirkan pola korupsi baru. 

Pertanyaan, mengapa tingkat korupsi di Indonesia malah semakin tinggi sejak era reformasi bergulir, dan apa bedanya dengan korupsi pada zamam Orde Baru (Orba)?

Jawabannya tentu mudah ditebak. Dalam era reformasi yang cenderung menganut sistem Demokrasi yang berasaskan ideologi Kapitalis Sekuler, meniscayakan negara dipimpin dan dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas minim. 

Karena kekuasaan untuk memimpin hanya bagi yang bermodal, entah modal pribadi ataupun dari para sponsor yang tentunya tidak gratis. Modal untuk berkuasa pun tidaklah murah. Dan, modal ini jelas harus dikembalikan. Istilah kata, harus balik modal. 

Maka, untuk bisa mengembalikan modal bekas proses demokrasi inilah, para pejabat, politisi, maupun para kepala daerah kerap mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Dengan kata lain, korupsi. 

Hal ini jelas berbeda dengan praktik korupsi pada zaman Orde Baru (Orba). Kala itu, menurut Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik dan Keamanan, Mahfud MD, seperti dikutip dari CNNIndonesia, korupsi dibangun melalui otoriterisme yang kekuasaannya sangat terpusat untuk mengatur korupsi di Indonesia. 

"Nah sekarang semua orang karena demokrasi, karena kebebasan, itu sudah melakukan korupsinya sendiri-sendiri melalui berbagai cara," kata Mahfud. 

Tak hilangnya budaya korupsi di Indonesia ini kata Mahfud tak kepas dari gambaran sifat manusia Indonesia yang hipokrit dan munafik. 

"Ya misal kita bilang mau berantas korupsi, tapi dia sendiri dapat kesempatan (ikut) korupsi juga. Itu kan munafik," kata Mahfud.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun