KONTESTASI Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) masih sekitar empat tahunan lagi. Namun, genderang perang menuju perebutan kursi RI-1 dan RI-2 ini sudah mulai ditabuh oleh masing-masing partai politik (Parpol) dan para kandidat, yang dianggap memiliki potensi untuk maju pada pesta demokrasi lima tahunan dimaksud.
Sudah hampir dipastikan, bahwa apapun partainya dan siapapun kandidatnya, menginginkan kursi nomor satu alias seorang presiden, dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang.
Hanya saja, mungkin ada partai atau kandidat yang sadar diri, bahwa kapasitasnya tidak memungkinkan untuk terlalu memaksakan syahwatnya untuk nyapres. Namun, mungkin juga ada yang terus berupaya mendapatkan posisi calon presiden.Â
Sah-sah saja, namanya juga kehendak. Bukankah kata orang-orang tua dulu bahwa cita-cita itu harus setinggi langit, bukan?
Dalam hipotesis sederhana saya, dari sekian banyak kandidat yang berpotensi besar untuk dicalonkan jadi capres, adalah mereka yang rata-rata sebagai Ketua umum partai. Misal, Prabowo Subianto (Gerindra), Airlangga Hartarto (Golkar) Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat) Muhaimin Iskandar (PKB) dan Puan Maharani (PDI Perjuangan).
Khusus bagi Puan, tentu saja pengecualian. Sebab, hingga detik ini, ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri sepertinya sudah tidak memiliki syahwat untuk maju Pilpres. Dia lebih mendorong putri sulungnya tersebut untuk maju.
Sementara di luar kader partai, ada nama yang digadang-gadang cukup kompeten bila dicalonkan jadi presiden. Dia adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Kedua nama kepala daerah ini dianggap punya potensi, mengingat capaian hasil elektabilitasnya yang selalu berada di jajaran peringkat teratas.
Dari sekian banyak nama yang saya sebutkan tadi, rasanya yang paling memiliki peluang untuk dicalonkan menjadi presiden hanyalah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto.
Kenapa?
Prabowo Subianto
Ada dua dasar kuat yang dimiliki oleh mantan Danjend Kopasus itu bisa diusung langsung menjadi capres.
1. Seperti saya sebut di atas, dia adalah Ketum Partai. Bahkan, partainya ini merupakan partai besar saat ini di tanah air. Hal ini mengacu pada perolehan suara pada Pemilu legeslatif 2019, dimana partai berlambang kepala burung garuda ini menduduki peringkat kedua setelah PDI Perjuangan.
Persentase perolehan suara nasional Partai Gerindra ini adalah 12,57 persen. Hasil ini mengantarkan Gerindra memperoleh 78 kursi di parlemen pusat.
Jika masih mengacu pada aturan lama, dimana ambang batan atau presidential threshold adalah 25 persen suara sah nasional, dan 20 persen jumlah kursi di parlemen, memang Gerindra tidak bisa otomatis mencalonkan pasangan calon. Mereka harus berkoalisi dengan partai lainnya.
Hal sangat logis untuk bisa menjadikan posisi Prabowo tetap jadi calon presiden adalah dengan mengambil hitungan ambang batas jumlah kursi di parlemen. Dengan modal 78 kursi, partai ini tinggal butuh 37 kursi lagi demi memenuhi kuota 20 persen suara.
Artinya, Gerindra hanya butuh satu partai yang raihan kursinya ada di bawah, demi memenuhi ambang batas pencalonan.Â
Tentu ada beberapa partai yang memiliki peluang di ajak koalisi, kecuali PKS yang sudah memutuskan bercerai dengan Gerindra. Partai itu adalah Nasdem 59 kursi, PKB 58 kursi, Demokrat 54 kursi, atau PAN 44 kursi.
2. Elektabilitas Prabowo Subianto selalu masuk dalam jajaran tiga peringkat teratas, dari hasil survei yang telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga survei tanah air.
Jika, elektabilitas tinggi tersebut mampu dipertahankan hingga jelang Pilpres, tentu akan menjadi nilai tawar tinggi dan menambah kepedean Prabowo untuk nyapres.
Airlangga Hartarto
Sama halnya dengan Prabowo, Partai Golkar yang saat ini dinahkodai Airlangga adalah partai tiga besar hasil Pemilu legeslatif 2019. Partai berlambang pohon beringin ini memperoleh 12,31 persen. Namun begitu, jumlah kursi Golkar di parlemen lebih banyak dibanding dengan Gerindra, yakni 83 kursi.
Diyakini, jika Airlangga kekeuh ingin maju sebagai capres, tentu saja bakal memilih ambang batas jumlah kursi di parlemen dibanding suara sah nasional.Â
Dengan begitu, partai ini tinggal membutuhkan 32 kursi. Dan kursi ini bisa mereka dapatkan dengan meraih partai yang berada di bawahnya untuk berkoalisi.
Di luar dua nama tersebut di atas, rasanya cukup sulit untuk bisa otomatis langsung dicalonkan menjadi capres. Meski mungkin dilihat dilihat dari kemampuan memimpinnya lebih baik. Sebut saja, Anies, AHY dan Puan Maharani.
Kenapa?
Pasalnya ketiga nama tersebut di atas, masing-masing memiliki kelemahan, yang diyakini bakal menjadi kendala cukup besar menuju pencalonan RI-1. Apa saja kendala dimaksud, ini penjelasannya?!.
Anies Baswedan
Sosok yang satu ini memang sudah digadang-gadang sejak awal, sebagai salah satu kandidat kuat untuk maju sebagai calon presiden. Hal ini tak lepas dari raihan elektabilitas dia yang selalu menyentuh dua digit dari hasil beberapa lembaga survei. Ini jelas merupakan modal bagus bagi seorang kandidat, mendapat kepercayaan publik. Â
Selain elektabilitas yang relatif tinggi, popularitas mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini juga tidak usah diragukan. Saya rasa mayoritas penduduk tanah air telah mengenal dengan kandidat yang satu ini.
Hanya saja, kelemahan atau kendala Anies adalah tidak memiliki kendaraan politik sebagai tiket masuk pada pencalonan. Kalaupun melalui jalur perseorangan, rasanya cukup berat bagi pria yang dinilai piawai beretorika tersebut.
Satu-satunya jalan Anies ikut berkontestasi Pilpres adalah dengan diusung oleh partai politik. Pertanyaannya kemudian, partai mana yang kepincut untuk mengusungnya?
Jika targetnya menjadi calon presiden, hampir mustahil jika Anies diusung oleh PDIP, Gerindra maupun Golkar. Pasalnya, ketiga partai ini sudah memiliki jagoannya masing-masing.
Jika Anies ingin tetap dicalonkan sebagai presiden, setidaknya harus ada tiga partai pengusung untuk berkoalisi agar bisa memenuhi syarat ambang batas pencalonan. Partai tersebut, bisa saja Nasdem, PKS dan PAN atau Nasdem, PKS, Demokrat, atau Nasdem, PKS dan PKB, atau Nasdem, PKS dan PPP.
Sengaja saya tidak merubah formasi dua partai calon pengusung Anies, yakni Nasdem dan PKS. Pasalnya, kedua partai ini sepertinya memilki ikatan emosional yang cukup kuat dengan Anies. Alasan lain, kedua partai ini tidak memiliki kader mumpuni untuk dicalonkan.
Maka, demi bisa menjaga eksistensi dan harga diri partai, tidak ada jalan lain selain merekrut pihak luar yang memiliki potensi kuat. Nama tersebut adalah Anies.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
Sebagai ketua umum partai, tentu akan dengan sangat mudah bagi AHY mencalonkan dirinya sebagai presiden pada Pilpres 2024.Â
Hanya saja, Partai Demokrat yang dinahkodainya tidak cukup kuat untuk bisa mencalonkannya langsung. Sebab, perolehan suara sah nasional pada Pemilu 2019 lalu hanya mencapai 7,77 persen, dengan raihan kursi parlemen cuma 54.
Ini artinya, jika AHY ingin memiliki nilai tawar tinggi untuk tetap dicalonkan sebagau presiden, harus berkoalisi dengan partai yang perolehan suaranya di bawah. Partai tersebut adalah PAN dan PPP.
Kendati begitu, untuk berkoalisi dengan kedua partai tersebut bukan perkara mudah. Saya berpandangan, jika harus berkoalisi, rasanya kedua partai ini akan lebih memilih partai yang memiliki peluang menangnya lebih besar.
Bisa saja, mereka merapat ke Gerindra dan PDIP atau poros baru, yakni Nasdem dan PKS. Kecuali, pada saat menjelang Pilpres nanti, elektabilitas AHY sangat tinggi. Tentu saja, hal itu nantinya akan banyak merubah peta politik yang ada.
Namun, kalau merujuk pada perolehan elektabilitas hari ini, sulit bagi AHY untuk mendapat tempat sebagai calon presiden. Kalaupun, ikut berkontestasi, posisinya bakal tak lebih sebagai calon wakil presiden.
Puan Maharani
Dibanding dengan kandidat-kandidat di atas, Puan Maharani jelas satu-satunya kandidat yang paling diuntungkan. Karena, PDIP sebagai tempatnya bernaung sudah tidak usah pusing-pusing lagi mencari partai koalisi.Â
Dengan hanya satu partaipun, PDIP sudah bisa mencalonkan pasangannya. Seperti diketahui, PDIP adalah partai pemeng pemilu 2019, dengan raihan suara mencapai 19,33 persen dan 128 kursi di parlemen.
Dengan jumlah kursi parlemen yang mencapai 128 ini sudah cukup bagi PDIP untuk punya tiket otomatis meloloskan calonnya. Hanya saja, nama yang sampai saat ini digadang-gadang sebagai calon kuat untuk maju Pilpres, Puan Maharani, elektabilitasnya jeblok.
Jangankan masuk tiga besar, sekedar menyentuh angka 5 persen pun sangat sulit. Bahkan, berdasarkan hasil survei Indikator politik pada bulan Juli 2019 lalu, elektabilitas Puan hanya 2 persen saja. Angka ini jauh di bawah kader PDIP lainnya, Ganjar Pranowo  yang memperoleh 16,2 persen.
Dengan posisi ini, rasanya sulit bagi Puan untuk memaksakan diri maju sebagai calon presiden. Peluang paling logis Puan paling juga sebagai calon wakil presiden.Â
Entah itu mendampingi Prabowo Subianto atau mungkin disandingkan langsung dengan sesama kader PDIP lainnya, Ganjar Pranowo.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H