Praktik KKN di negeri ini memang seperti tak pernah mengenal kata ujung, seperti sebuah lirik lagu 'gugur satu tumbuh seribu'. Padahal, lembaga antirasuah kerap menangkap para pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi, koruptor selalu tumbuh tidak mengenal ruang dan waktu, terus berevolusi, beregenerasi dan bermetamorfosis seiring kemajuan peradaban.
Kondisi miris tersebut di atas, membuktikan, mental pelaku atau pejabat publik tanah air masih sangat rapuh. Mereka gampang sekali tergiur harta dan tahta. Di samping tentu masih lemahnya sistem peradilan (hukum) yang diterapkan.
Nah, soal rapuhnya mental para aparatur negara ini pula yang memudahkan Djoko Tjandra masuk ke ke tanah air, sekaligus sulit untuk ditangkap.
Betapa tidak, selain Lurah Grogol Selatan, ternyata ada pihak lain juga yang ikut membantu Djoko Tjandra. Mereka adalah tiga jendral polisi Mabes Polri.
Keterlibatan tiga jendral polisi tersebut mulai terkuak, saat para pewarta memberitakan tentang adanya surat jalan yang diberikan oleh Kabiro Kordinasi dan Perjalanan PPNS Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Pol Prasetyo Utomo.
Surat jalan tersebut dibuat Brigjen Pol Prasetyo secara sepihak atau tanpa diketahui unsur pimpinan lainnya. Setali tiga uang dengan Asep Subahan, Prasetyo pun akhirnya dicopot dari jabatannya, dan kemungkinan akan terkena ancaman hukum pidana.
Selain Prasetyo, dua jendral lainnya yang terlibat adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo. Perbuatan yang dilakukan oleh dua orang jendral ini yaitu diduga telah menghapus red notice atas nama buronan Djoko Tjandra dari data Interpol sejak 2014 lalu.
Diakui atau tidak, atas perbuatan tiga jendral polisi dalam pusaran kasus Djoko Tjandra tentu sangat menampar muka Kapolri, Idham Azis, yang tengah getol melakukan bersih-bersih di institusi yang dipimpinnya.
Buronan 11 Tahun Ditangkap
Keterlibatan tiga jendral polisi Mabes Polri ini rupanya benar-benar menjadi cambuk keras bagi institusi ini. Mereka terus berupaya membayar rasa malunya terhadap publik dengan terus melacak keberadaan Djoko Tjandra.