AMERIKA Serikat adalah sebuah negara yang sistem demokrasinya sudah jauh lebih maju dibanding negara manapun di dunia, termasuk Indonesia. Artinya, segala komponen yang berkaitan dengan hal tersebut, boleh disebut telah tertata dengan rapi. Baik itu tata cara pemilihan umum dan jadwal yang telah ditetapkannya.
Namun, rupanya segala hal yang telah berjalan dengan baik itu mau "dirusak" oleh sang penguasa negeri Paman Sam tersebut. Ya, adalah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, tiba-tiba tanpa hujan tanpa angin, menghendaki agar pemilihan presiden di negara adidaya tersebut ditunda.
Sebagaimana diketahui, pesta demokrasi empat tahunan dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden di AS akan dilaksanakan pada 3 November 2020 mendatang.
Apa yang diinginkan oleh pengusaha proferti sukses ini tentu saja dianggap kontroversi dan mengundang polemik. Pasalnya, jadwal Pilpres sudah ditentukan jauh-jauh hari dan sudah disahkan menjadi aturan federal. Sehingga untuk merubah jadwal bukanlah perkara mudah. Harus kembali digelar sidang kongres dalam pembahasannya.
Lalu, apa alasan presiden yang sarat dengan kontroversi ini ingin menunda Pilpres?
Pria berambut pirang tersebut menduga bahwa Pemilihan presiden di tengah wabah pandemi virus corona atau covid-19 berpotensi ada kecurangan dan hasilnya tidak akurat. Sebab, sistem pemilihannya tidak secara langsung, dimana biasanya warga negara mendatangi langsung tempat pemilihan, bukan malah memberikan hak suaranya melalui pos.
"Dengan Voting Mail-In (daripada Absentee yang jelas bagus), 2020 akan jadi pemilihan PALING TIDAK AKURAT dan CURANG dalam sejarah," kritiknya. Kompas.com.
"Tentu akan memalukan bagi AS. Tunda pilpres hingga pemilih bisa melakukannya secara aman dan benar?" tanya presiden 74 tahun itu di Twitter.
Bukan hanya itu, masih dikutip dari Kompas.com, Trump melontarkan keresahan sistem pemilihan secara remote itu akan "berisiko" terhadap kemenangannya November nanti.
"Dalam pandangan saya, Pilpres AS tahun ini jelas yang paling terkorup dalam sejarah," ujar petahana kepada pendukungnya di Arizona Juni lalu.
Kemudian dalam wawancaranya dengan Fox News, dia menekankan tidak akan menerima begitu saja jika dinyatakan kalah dalam pemilihan.
Apa yang diungkapkan Trump ini jadi bertolak belakang dengan apa yang pernah disampaikan beberapa waktu sebelumnya. Trump tidak mempermasalahkan, Pilpres digelar pada 3 November 2020.
"Mengapa saya harus melakukannya? Tiga adalah angka yang bagus. Tidak, saya akan tetap menatapnya. Saya tak pernah memikirkannya," kata dia.
Hanya Alasan Trump
Saya merasa apa yang diungkapkan oleh Donald Trump ingin menunda Pilpres dengan dalih takut adanya kecurangan, sepertinya hanya mengada-ngada. Betapapun, dia adalah penguasa hari ini yang sejatinya memiliki keuntungan lebih dibanding calon penantangnya, Joe Biden.
Idealnya, sebagai penguasa, Donald Trump bisa mengendalikan perangkat pemilihan umum untuk tidak terjadi kecurangan terhadapnya.
Mungkin tidak akan aple to aple jika dibandingkan dengan Negara Indonesia. Akan tetapi, rasanya kultur "keberpihakan" para penyelenggara pemilu biasanya cenderung lebih condong terhadap pihak penguasa atau petahana.
Tengok saja pada hasil Pilpres 2019 lalu, dimana pihak Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno menduga ada kecurangan dalam proses Pilpres. Sehingga akhirnya pasangan yang didukung oleh Partai Gerindara, PKS, PAN dan (mungkin) Partai Demokrat ini menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, sudah bisa kita ketahui bersama, gugatan tersebut hanya buang-buang waktu saja. Sang petahana, Presiden Jokowi yang kali ini berpasangan dengan Ma'ruf Amin tetap tak tergoyahkan, dan melenggang mulus menuju istana.
Kembali pada alasan Donald Trump, saya kira jika hanya takut adanya kecurangan, hanyalah alasan yang terlalu dipaksakan. Padahal sebetulnya dia belum siap saja menghadapi Pilpres kali ini, karena tingkat kepercayaan warga negara Paman Sam tengah menukik tajam.
Rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat negeri Paman Sam ini dipicu oleh ketidakmampuan Presiden yang pada pemilihan 2016 lalu mengalahkan Hillary Clinton ini, menangani wabah pandemi virus corona.
Karena ketidakmampuan dan awalnya menganggap sepele soal pandemi covid-19 tersebut, mengakibatkan AS menjadi negara yang paling banyak mendapatkan kasus positif dan angka kematian tertinggi di dunia, jauh melebihi negara asal wabah, China.
Dilansir dari Kompas.com, hingga 1 Agustus 2020 jumlah kasus positif di AS mencapai 4.702.922 kasus, dengan jumlah meninggal sebanyak 156.712 orang, dan total sembuh 2.322.94.Â
Akibat dari pandemi itu pula, perekonomian di AS anjlok 32,9 persen pada kuartal April-Juni. Ini menjadi yang terburuk sepanjang sejarah dalam periode yang sama.
Selain karena pandemi yang mengakibatkan perkonomian di AS terpuruk, Trump juga dinilai sebagai presiden yang sarat dengan kontroversi, sehingga kurang begitu disukai warga masyarakatnya.
Dua diantara sekian banyak kebijakan Donald Trump adalah, mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Israel dan perang dagang. Dalam hal ini, Trump menggoyang ekonomi global dengan menyulut perang dagang. Pemerintah AS menaikkan tarif bea masuk impor produk China seperti impor baja dan alumunium. Yah, Donald Trump membidik China karena dianggap selama ini perdagangan antara AS dengan negara tersebut berat sebelah.
Selain itu, selama masa pemerintahannya, Donald Trump juga sempat merasakan aksi pemakzulan oleh parlemen AS. Pria 73 tahun tersebut dituduh telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menghalang-halangi penyelidikan kongres.
Dengan sederet catatan jauh dari kata memuaskan ini, rasanya apa yang dikehendaki Donald Trump untuk menunda pelaksanaan Pilpres, sepertinya bukan semata-mata takut adanya kecurangan, melainkan sebetulnya dia takut kalah alias jiper oleh penantangnya Joe Biden.
Joe Biden adalah mantan wakil presiden AS, yang berasal dari Partai Demokrat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H