"Dalam pandangan saya, Pilpres AS tahun ini jelas yang paling terkorup dalam sejarah," ujar petahana kepada pendukungnya di Arizona Juni lalu.
Kemudian dalam wawancaranya dengan Fox News, dia menekankan tidak akan menerima begitu saja jika dinyatakan kalah dalam pemilihan.
Apa yang diungkapkan Trump ini jadi bertolak belakang dengan apa yang pernah disampaikan beberapa waktu sebelumnya. Trump tidak mempermasalahkan, Pilpres digelar pada 3 November 2020.
"Mengapa saya harus melakukannya? Tiga adalah angka yang bagus. Tidak, saya akan tetap menatapnya. Saya tak pernah memikirkannya," kata dia.
Hanya Alasan Trump
Saya merasa apa yang diungkapkan oleh Donald Trump ingin menunda Pilpres dengan dalih takut adanya kecurangan, sepertinya hanya mengada-ngada. Betapapun, dia adalah penguasa hari ini yang sejatinya memiliki keuntungan lebih dibanding calon penantangnya, Joe Biden.
Idealnya, sebagai penguasa, Donald Trump bisa mengendalikan perangkat pemilihan umum untuk tidak terjadi kecurangan terhadapnya.
Mungkin tidak akan aple to aple jika dibandingkan dengan Negara Indonesia. Akan tetapi, rasanya kultur "keberpihakan" para penyelenggara pemilu biasanya cenderung lebih condong terhadap pihak penguasa atau petahana.
Tengok saja pada hasil Pilpres 2019 lalu, dimana pihak Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Sandiaga Uno menduga ada kecurangan dalam proses Pilpres. Sehingga akhirnya pasangan yang didukung oleh Partai Gerindara, PKS, PAN dan (mungkin) Partai Demokrat ini menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, sudah bisa kita ketahui bersama, gugatan tersebut hanya buang-buang waktu saja. Sang petahana, Presiden Jokowi yang kali ini berpasangan dengan Ma'ruf Amin tetap tak tergoyahkan, dan melenggang mulus menuju istana.