PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) yang rencananya akan dilaksanakan serentak pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang, gaungnya sudah mulai terasa.
Segala intrik dalam menyongsong pesta demokrasi pemilihan calon pemimpin di daerah provinsi dan kabupaten/kota ini sudah mulai dilancarkan oleh masing-masing partai pengusung dan calon yang bakal berkontestasi.
Pilkada siapapun paham akan identik dengan politik. Sejatinya politik itu ada demi meraih kekuasaan demi kepentingan negara yang bertujuan untuk menjadikan masyarakat merasakan adanya keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran.
Artinya atau sebenarnya, jika benar-benar dipraktikan dengan baik dan benar, politik itu bertujuan sangat mulia. Politik adalah sesuatu yang adiluhung dan menghormati segala hak-hak masyarakat dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bahagia dan sejahteranya masyarakat, jika pelaku politik benar-benar mampu merealisasikan amanat yang terkandung di dalamnya. Hanya saja, mencermati dunia politik di tanah air saat ini, masih jauh panggang dari api.
Kenapa?
Karena yang kerap kita hadapi sekarang dari para pelaku politik tak ubahnya para pemain sirkus yang gemar melakukan akrobat. Akrobat di sini tentu saja akrobat politik.
Akrobat politik itu contohnya, apa yang dinyatakan para pelaku hari ini, dengan secepat kilat berubah beberapa saat kemudian. Atau, sekarang bilang apel, tak berapa lama berubah jadi jambu mete. Selain itu, akrobat politik juga bisa dicontohkan dengan salah seorang kader politik A, tiba-tiba menyebrang ke parta B atau partai lainnya.
Jadi, jika bisa ditarik benang merahnya, akrobat politik adalah suatu prilaku yang inkonsistensi atau mancla-mencle. Prilaku ini terjadi karena merasa kepentingannya tidak terakomodir atau bisa jadi mengejar kepentingan lain yang lebih menjanjikan.
Bahasa sederhananya, barang siapa yang mampu memberikan jaminan, di sanalah mereka manut, sehingga apa yang mereka ungkapkan atau lakukan tergantung siapa yang siap menyediakan api dapur mereka.
Sejujurnya, prilaku akrobat politik tersebut sangat ironi, naif dan memuakan. Sebab, wara-wiri politik seperti ini sudah bisa ditebak, karena kepentingan mencari kekuasaan dan bayaran, bukan demi membesarkan partai.
Akrobat politik, jelas sangat tidak menguntungkan partai. Bahkan, partai dalam posisi ini dikangkangi oleh kader politik kutu loncat kesana kemari hanya semata mencari jabatan dan uang.
Memang, ini merupakan tamparan keras untuk partai, mengapa menerima orang yang tidak jelas komitmen terhadap kebijakan dan ideologi partai? Sehingga partai sekarang hanya menjadi rumah singgah sementara untuk orang bergabung dalam rumah itu.
Pada saatnya mereka tidak betah, maka akan meninggalkan rumah singgah itu mencari rumah lain untuk persinggahan mereka. Dan paling ironis dan memprihatinkan kita adalah setelah mereka pindah ke rumah singgah lain, tidak tanggung-tanggung mereka juga menjadi corong untuk membuka borok partai yang ditinggalkan itu ke depan publik. Sungguh memuakan.
Tapi bisa apa, ini realita yang harus dihadapi oleh warga masyarakat saat ini. Dalam otak para pelaku politik, hanya ada narasi seperti ini, "tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan". Mereka biasanya juga membuat rumusan politik karena kepentingan yaitu, siapa dapat apa.
Akhyar Pindah Partai
Nah, jelang Pilkada serentak mendatang, jauh-jauh hari kita sudah disuguhkan akrobat politik yang diperagakan oleh Akhyar Nasution.
Sebagaimana diketahui, Akhyar sebelumnya adalah kader PDI Perjuangan, namun tiba-tiba saja dia menyebrang ke Partai Demokrat.
Ramai diberitakan media massa, menyebrangnya Pelaksana tugas Wali Kota Medan tersebut ke partainya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) disebabkan PDI Perjuangan tidak mengakomodir keinginannya untuk maju pada Pilwakot Medan.Â
Disebut-sebut, Partai berlambang banteng gemuk moncong putih itu lebih memilih menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Boby Nasution.
Di Partai Demokrat, Akhyar dipastikan mendapatkan apa yang dia mau. Yaitu, maju mencalonkan diri pada kontestasi Pilwakot Medan, Sumatera Utara.
Dikutip dari Tempo.co, majunya Akhyar ditegaskan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon. Menurutnya, Demokrat ingin menghadirkan alternatif pilihan di Pilkada Medan 2020, dengan mencalonkan Akhyar yang berpasangan dengan politikus PKS, Salman Al Farisy.
"Demokrat ingin demokrasi hidup di Medan, jadi publik punya alternatif pilihan. Masa di semua tempat kotak kosong semua," ujar Jansen.
Masih dikutip Tempo.co, Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengatakan, ada dua pertimbangan yang disampaikan Akhyar ketika memutuskan pindah partai.
Pertama, karena tak diberi ruang oleh PDI Perjuangan untuk menyalurkan hak politiknya dalam kontestasi Pilkada Medan 2020.
Kedua, Akhyar sudah merasa tak nyaman dengan mekanisme kaderisasi di PDI perjuangan. Di sisi lain, hubungan Akhyar dengan Demokrat selama ini berjalan cukup baik.
"Sehingga dia memilih untuk hijrah ke tempat baru yang dipandang lebih kondusif untuk memperkuat potensinya dengan maksimal," ujar dia.
Itulah kultur para pelaku politik di tanah air. Mereka tak segan menjadikan kawan jadi lawan, pun sebaliknya. Semua itu rela dan sadar dilakukan semata-mata meraih kepentingan politiknya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H