Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soeharto, Penganut Ilmu Kejawen Taat dan Perginya Wahyu Keprabon

25 Juli 2020   23:02 Diperbarui: 25 Juli 2020   23:01 11226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Piye kabare? Enak jamanku toh?..."

NARASI atau kalimat pertanyaan berlatar bahasa Jawa tersebut, akhir-akhir ini mulai kembali melekat di benak warga masyarakat tanah air.

Tak usah aneh, sebab kehadiran narasi yang dianalogikan kalimat pertanyaan dari mantan Presiden RI ke-2, Soeharto, kerap nongol di beragam media. Baik itu angkutan truk, Angkutan Umum, bahkan stiker-stiker yang ditempel di sembarang tempat.

 Ada yang menganggap, hal tersebut diciptakan untuk "politik nostalgia". Masudnya, demi menggugah kembali memori masyarakat tanah air pada kejayaan masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Bukan hanya itu, narasi tersebut ada pula yang menilai untuk menyiratkan sebuah perbandingan antara keadaan pada masa orde baru dengan kini ketika reformasi menjadi keyakinan bangsa Indonesia.

Tak sedikit yang meyakini, kala jaman orde baru harga sembako masih sangat terjangkau alias murah dan prilaku premanisme menurun drastis, berkat kehadiran penembak misterius (Petrus). Intinya, narasi tersebut merupakan simbol kondisi kenyamanan dan rasa aman di masa lalu.

Iya, sebagaimana kita ketahui, Presiden Soeharto adalah presiden yang paling lama berkuasa di tanah air. The Smiling General berkuasa hampir selama 32 tahun. Mulai tahun 1967 hingga di lengserkan pada tahun 1998 silam oleh gerakan aksi massa dan mahasiswa. Untuk kemudian gerakan aksi massa besar-besaran tersebut dikenal sebagai gerbang menuju era reformasi.

Bertahan lamanya kekuasaan Soeharto tentu saja bukan tanpa dasar. Dalam mengendalikan pemerintahannya, pria kelahiran Kemusuk, 8 Juni 1921 itu tak lepas dari kekuatan tentara. 

Banyak kolega-koleganya semasa di militer ditempatkan pada posisi atau jabatan strategis. Diantaranya adalah Maraden Panggabean yang pernah dijadikan Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI, serta Umar Wirahadikusumah dijadikan Wakil Presiden. Dan, tentunya masih banyak lagi.

Selain tak bisa lepas dari lingkungan militer. Demi mengokohkan kekuasaannya, Soeharto juga menjadikan partai politik  di tanah air sebagai "bonekanya".

Pada masa pemerintahan orde baru hanya ada tiga partai politik yang eksis. Ketiga partai itu adalah Golkar, PDI dan PPP. Meski begitu, Golkar adalah partai yang begitu superior pada saat itu, karena dikendalikan langsung oleh Presiden Soeharto. Siapapun Ketua umumnya, yang berkuasa dan segala kewenangannya tetap saja berada dalam genggaman ayah dari Hutomo Mandala Putra tersebut.

Soeharto menggunakan Golkar sebagai kendaraan politik, terutama dalam memenangkan pemilihan umum. Terbukti, partai berlambang pohon beringin ini menang dalam empat kali pemilihan umum selama Orde Baru.

Kunci kemenangan Golkar pada masa orde baru adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan militer. Iya, seluruh PNS dan segenap karyawan yang bernaung dalam lembaga pemerintahan dianggap sebagai anggotanya. Pun dengan tokoh-tokoh militer senior diberi kesempatan untuk melenggang mulus ke dalam institusi atau lembaga politik dan birokrasi sipil.

Dengan begitu, jamak jika Golkar benar-benar menjelma sebagai partai politik yang sangat dominan, bahkan cenderung superior. Sementara dua partai lainnya, PDI dan PPP hanya dijadikan partai pelengkap penderita. Ibarat kata, partai politik hanya dianggap sebagai kedok bahwa negara Indonesia merupakan negara yang menjungjung tinggi demokrasi di mata dunia internasional.

Dengan taktik dan strategi politiknya ini, Presiden Soeharto benar-benar menjadi pimpinan negara yang super power, sulit untuk dijatuhkan, hingga akhirnya mampu berkuasa selama hampir 32 tahun lamanya.

Dibentengi Kekuatan Mistis

Kendati begitu, kekuatan politik dan militer yang sengaja untuk membentengi kekuasaan Soeharto dipercaya bukan satu-satunya alasan yang membuat kekuasaan Presiden Soeharto begitu kuat dan bertahan lama. Dengan artian, ada kekuatan lain yang kasat mata, yang membantu Soeharto dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Kekuatan apa yang dimaksud dengan hal kasat mata tersebut?

Bukan rahasia umum, Presiden Soeharto adalah salah seorang pemimpin negeri yang taat menjadikan budaya leluluhur Jawa sebagai pedoman hidupnya. Sebagai seorang kelahiran Jawa, Presiden Soeharto diyakini seorang penganut ilmu kejawen yang taat.

Kejawen adalah sebuah ilmu dari masyarakat Jawa, yang dipandang memiliki ajaran-ajaran utama untuk membangun tata krama atau aturan dalam berkehidupan sosial yang baik.

Berdasarkan naskah-naskah kuno Jawa, kejawen juga identik dengan hal-hal yang berbau animisme, dinamisme atau perdukunan. Oleh karenanya, orang yang menganut ilmu kejawen tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang berbau mistis. Termasuk, Presiden Soeharto.

Tidak heran, jika dalam prosesnya, Presiden Soeharto selalu selamat dan sukses menjali kehidupan.

Dikutip dari Historia.com, orang-orang yang memiliki keyakinan kuat pada kultur Jawa atau kejawen diyakini punya 'prewangan' atau bisa disebut bantuan dari dunia gaib.

Diketahui, Soeharto mempunyai banyak sekali pusaka. Konon, sebanyak 2000 pusaka dimilikinya. Mulai dari keris Keluk Kemukus yang membuat pemiliknya bisa menghilang (Majalah Misteri, 1998). 

Malah, ia juga memboyong topeng Gajah Mada dari Bali, gong keramat dan sejumlah keris pusaka Keraton Surakarta yang terpaksa dikembalikan karena Surakarta dilanda banjir bandang.

Perginya Wahyu Keprabon

Selain dipercaya memiliki kekuatan mistis yang diperoleh atas ketaatannya menjungjung tinggi kultur Jawa atau penganut ilmu kejawen yang taat, Kekuatan Presiden Soeharto juga dipercaya datang dari kekuatan isterinya, Siti Hartinah atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Tien.

Dikutip Historia.com, pergunjingan soal sisi mistis Soeharto mendadak mencuat seusai Ibu Tien meninggal dunia.

Kepergian Ibu Tien pada 28 April 1996 itu, konon, meredupkan aura kekuasaan Soeharto. Saat tampil di depan publik pun, ia tampak tak bercahaya dan begitu renta. Kalangan spiritualis memprediksi, wahyu keprabon telah pergi darinya.

Maaih dikutip dari Historia.com, sempat juga muncul rumor di kalangan masyarakat. Satu hari sebelum Ibu Tien meninggal, ada yang melihat seberkas cahaya hijau berbentuk ular naga melesat terbang dari Keraton Mangkunegaran Solo.

Tak masuk akal memang, menghubungkan hal itu dengan karier seorang presiden. Namun, langkah politik Soeharto, setelah kepergian istrinya, sungguh di luar kendali.

Sebagaimana diketahui, dua tahun sejak meninggalnya Ibu Tien, pemerintahan yang dikuasainya selama hampir 32 tahun seperti tidak mampu lagi dikendalikan. Presiden Soeharto yang terkenal mampu menyimpan segenap isi hati di balik senyumannya yang khas, seolah tak mampu lagi mengontrol keadaan.

Kewibawaan yang selama memerintah dianggap sebagi pengaruh yang membuat orang-orang di sekitarnya tunduk dan masyarakat pun tak ada yang berani menentang, seolah sirna seketika.

Tepatnya pada bulan Mei 1998, Soeharto benar-benar sudah tidak lagi dianggap sebagai sosok yang sangat ditakuti dan disegani. Yang ada, masyarakat muak, marah dan kesal atas prilaku dan cara mengelola pemerintahannya selama menjabat presiden, yang sarat dengan prilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Puncaknya, pada tanggal 21 Mei 1998, kekuasaan Presiden Soeharto benar-benar runtuh. Dia dipaksa lengser oleh ribuan mahasiswa dan masyarakat dari kursi kekuasaannya secara tidak hormat.

Bahkan, setelah beliau meninggal dunia pada tahun 2008 lalu, usulan untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional pun hingga hari ini masih ditolak.

Padahal, terlepas dari segala bentuk penyelewengannya selama memerintah, Soeharto adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi bangsa dan negara ini. 

Bahkan pernah membawa Indonesia pada puncak kejayaan. Salah satu contohnya, membawa Indonesia berswasembada pangan pada tahun 1984 silam.

Meski demikian, inilah realita yang harus ditanggung oleh mantan sang penguasa negeri, yang bernama Soeharto.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun