Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gibran dan AHY, Dua Putra Mahkota Beda "Kasta"

23 Juli 2020   17:43 Diperbarui: 23 Juli 2020   18:01 2976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DINASTI politik atau mewariskan kekuasaan terhadap putra kandung dan kerabat sedarah, bukan perkara baru terjadi pada sistem pemerintahan modern seperti sekarang.

Dari sekian banyak negara yang melegalkan polistik dinasti, Indonesia termasuk di dalamnya. Bahkan, bisa dibilang, budaya melanggengkan kekuasaan ini sudah terjadi sejak beberapa dekade lalu.

Praktik ini makin subur setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik. MK saat itu membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tak mempunyai  konflik kepentingan dengan petahana.

Fenomena politik dinasti yang terjadi selama ini, tak ubahnya politik kartel yang menganut politik balas budi, politik uang maupun politik melanggengkan kekuasaan. Dengan artian, kebebasan politik yang semakin terbuka ini, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk terus berupaya dengan segala akses demi menggapai kapitalisasi dan kekuasaan.

Tak berlebihan, jika sejumlah kalangan menilai, dinasti politik cenderung menyuburkan praktik nepotisme hingga melahirkan perkara rasuah.

Jika dikerucutkan, dalam satu dekade terakhir, praktik-praktik pelanggengan kekuasaan ini sama-sama dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, yaitu Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Mereka berdua sama-sama mengorbitkan putra sulungnya pada kancah politik praktis.

Kedua putra sulung dimaksud adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Gibran Rakabuming Raka.

Agus Harimurti Yudhoyono

Seperti diketahui, SBY begitu antusias melanggengkan klan-nya pada AHY. Bahkan, mantan Presiden ke-6 ini sampai sampai berani menariknya dari dunia militer demi mengikuti kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017.

Sayang, niat SBY ini tak sesuai harapan. AHY tak mampu berbuat banyak. Dia hanya keluar sebagai juru kunci dari tiga pasangan yang ada kala itu.

Selepas gagal Pilgub DKI, AHY pun dilibatkan lebih jauh di kepengurusan partai Demokrat. Awalnya, dia dipercaya menjadi Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma). Kemudian, naik pangkat jadi Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, hingga akhinya di daulat menjadi ketua umum.

Sebelumnya, pernah ada upaya SBY untuk "menitipkan" AHY pada Jokowi, sebagai salah seorang menteri di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Niat SBY kembali gagal. Disebut-sebut biang kegagalannya itu karena perseteruan panjang dengan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri.

Gibran Rakabuming Raka

Apa yang telah dilakukan oleh SBY guna meneruskan klan-nya di dunia politik, diikuti oleh Presiden Jokowi. Mantan Wali Kota Solo ini mempercayakan trah politiknya pada Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Boby Nasution.

Dari kedua sosok itu, nama Gibran paling disorot. Pasalnya, majunya pada Pilwakot Solo 2020 cukup kontroversial.

Kenapa?

Pasalnya, ayah dari Jan Ethes ini mampu menyingkirkan rival berat, Ahmad Purnomo. Selain seorang petahana, pengalaman Purnomo di dunia politik dan pemerintahan jauh di atas Gibran.

Maka, saat putra sulung Jokowi ini mendapat rekomendasi dari PDI Perjuangan (PDI-P), banyak yang meyakini, bahwa kemenangan itu bukan atas dasar kemampuan Gibran. Akan tetapi, akibat adanya campur tangan sang ayah.

Terlebih, sebelumnya Presiden Jokowi mengundang Purnomo ke Istana Presiden, dan memberitahukan, bahwa yang mendapat tiket maju Pilwakot Solo adalah putranya.

Tindakan Presiden Jokowi ini menjadi diskursus publik. Tak sedikit menilai, orang nomor satu di Indonesia ini telah memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi, hingga bentuk intervensi politik.

Namun, segala suara-suara sumir di luar tentu saja tidak serta merta menggagalkan tiket yang sudah digenggam Gibran. Memang sejatinya, tidak ada regulasi yang dilanggar. Kalaupun ada, sipatnya hanya sebatas etika. Dan, ini tidak akan banyak berpengaruh bagi majunya Gibran di Pilwakot Solo.
 

AHY Kalah Masa

Melihat dua contoh di atas, sudah jelas bahwa kedua penguasa tersebut (SBY dan Jokowi) memiliki syahwat serupa, yaitu ingin melanggengkan kekuasaan. Hanya saja, saya melihatnya ada dua perbedaan mencolok dari cara-cara yang dilakukan oleh mereka.

Dari segi momentum atau waktu "mewariskan" kekuasaannya di pemerintahan, saya lihat SBY harus mengakui keunggulan Presiden Jokowi.

Gibran patut beruntung, saat "diorbitkan" menjadi calon Wali Kota Solo, sang ayah masih memiliki kekuasaan mutlak. Maka, kesempatan putra sulungnya melenggang mulus jadi penguasa Kota Solo berpeluang sangat besar. Apalagi, didukung oleh kendaraan politik yang superior.

Iya, sebagaimana diketahui, PDI-P adalah partai yang mampu meraup 66 persen kursi di DPRD Kota Solo, atau 30 dari 45 kursi yang tersedia.

Belum lagi, rencananya partai-partai lainpun bakal turut mendukungnya. Meski, saya rasa dukungan tersebut bukan karena kualitas Gibran yang mumpuni sebagai calon seorang pimpinan. 

Melainkan, mereka lebih memilih realistis melihat peta politik di Kota Solo. Arti kata, memaksakan diri untuk menandingi Gibran pun, kemungkinan menangnya sangat tipis.

Dengan demikian, ada kemungkinan dalam kontestasi Pilwakot Solo, Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa, melawan kotak kosong.

Jika ini terjadi, jelas iklim demokrasi di Kota Bengawan ini tidak sehat. Sebab, rakyat tidak diberi kesempatan untuk memilih calon pemimpin terbaik.

Namun, apapun itu, Gibran memang diuntungkan oleh momentum dan waktu. Dengan kata lain, Gibran menang masa atau momentum dibanding AHY.

Bukan tanpa alasan, saat AHY mencalonkan diri pada Pilgub DKI Jakarta, statusnya bukan lagi putra sang penguasa, karena SBY sudah tak lagi menjabat presiden. Keuntungannya kala itu tak lebih dari putra dari Ketua Umum Partai Demokrat. Hasilnya, memang sudah diprediksi sejak awal. Mantan tentara itu kalah telak.

Gibran Kalah Kasta

Meski secara momentum, AHY kalah dari Gibran Rakabuming Raka. Ada satu keuntungan yang didapatnya saat ini.

Benar, dia kalah telak sewaktu Pilgub DKI Jakarta 2017. Akan tetapi, dari sana dia mendapat pengalaman berharga tentang kerasnya persaingan politik. Ini tentunya jadi proses pendewasaan bagi AHY dalam kancah politik praktis.

Berkat proses pembelajaran dan pendewasaan ini pula, akhirnya dia dipercaya jadi Ketua Umum Partai Demokrat.

Terlepas masih adanya nada-nada sumbang tentang status kepemimpinannya di Demokrat, kasta AHY jelas sangat jauh beda dengan Gibran.

Sebagai ketua umum, level AHY bukan lagi untuk mengejar jabatan setingkat pimpinan daerah kabupaten/kota seperti layaknya Gibran. Level suami dari Anissa Pohan ini adalah bertarung pada percaturan politik tingkat pusat alias Pilpres.

Sebab, jika bicara level pimpinan daerah, AHY justru sebagai sosok pencetak kader-kadernya untuk bertarung di level tersebut. Dengan demikian, dalam hal satu ini, AHY patut berbangga hati bahwa level atau kasta dirinya jelas di atas Gibran.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun