WACANA pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), terus menuai polemik.
Bahkan, salah-salah mensikapinya, boleh jadi akan terjadi perseteruan hebat diantara dua kubu. Kubu dimaksud adalah, kelompok islami dengan PA 212 nya dan pihak yang dianggap sebagai inisiator RUU HIP, yakni PDI Perjuangan.
Berita teranyar, hari ini, Kamis (16/07/2020), kelompok massa islam yang dipelopori Persaudaraan Alumni (PA) 212 kembali menggelar aksi demo, di depan Gedung DPR RI, Senayan Jakarta.
Mereka (kelompok aksi massa) kembali dengan tegas menolak RUU HIP. Akan tetapi, penolakan rancangan undang-undang tersebut, bukan satu-satunya agenda aksi massa.
Dikutip dari detikcom, sejumlah massa juga tampak membawa spanduk-spanduk bertuliskan 'Ma'zulkan Jokowi', 'Bubarkan PDIP', dan 'Tolak RUU HIP dan Tangkap Inisiatornya'.
Dari mobil komando, orator tampak menyerukan yel-yel. "Lawan lawan lawan PKI, lawan PKI NKRI Harga Mati," ujar salah seorang orator.
Masih dikutip dari detikcom, di mobil komando juga tampak spanduk berisi lima tuntutan umat (Lumat). Yaitu, makzulkan Jokowi, bubarkan PDIP, tolak RUU HIP & tangkap inisiator, tolak RUU Ombibus Law dan batalkan UU corona.
Dari lima tuntutan di atas, tiga diantaranya bukan barang baru yang disampaikan oleh kelompok PA 212. Ketiga tuntutan dimaksud adalah, tolak RUU HIP, bubarkan PDIP dan makzulkan Jokowi.
Tuntutan itu pernah pula disampaikan kelompok PA 212, pada aksi massa yang dilakukan pada tanggal 24 Juni 2020 lalu.
Ada beberapa alasan, kenapa kelompok PA 212 ini begitu gigih menyuarakan ketiga tuntutan tersebut.
Mereka menilai, bahwa RUU HIP berpotensi besar menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).Â
Indikasinya adalah, dalam salah satu klausul yang tertuang pada rancangan undang-undang ini terdapat konsep Trisila dan Ekasila, serta frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan".
Konsep dan frasa tersebut ini dianggap kontroversi, yang akhirnya memantik kritik dan protes. Pasalnya, dianggap bisa menghidupkan kembali PKI.
Lantas, kenapa PDI Perjuangan jadi sasaran?
Seperti ramai diwartakan oleh media massa, inisiator pembahasan RUU HIP tersebut datang dari seluruh partai di parlemen, minus Partai Demokrat dan PKS.
Hanya, saat RUU HIP ini menimbulkan riak, khususnya dari kelompok islam. Partai-partai politik yang semula setuju, satu per satu mulai mundur, kecuali PDIP masih kekeuh dengan keputusannya.
Saat PDIP sebagai refresentasi partai nasionalis "dikhianati" oleh partai-partai lainnya, kembali harus berhadapan dengan kelompok islami, sendirian.
Inilah yang akhirnya memantik tuduhan, bahwa PDIP sebagai inisiator dibahasnya RUU HIP. Tidak itu saja, partai berlambang banteng gemuk moncong putih ini juga dituding "pro" komunisme.
Tak pelak, kemarahan publik, khususnya kelompok PA 212 itu tertuju pada partai yang dinahkodai oleh Megawati Soekarnoputri tersebut.
Puncaknya, pada aksi massa 24 Juni lalu terjadi pembakaran bendera PDIP. Bahkan di media sosial pun ramai tagar yang menginginkan pembubaran PDI dan menangkap Megawati.
Akibat peristiwa pembakaran bendera partai, suhu politik sempat memanas. Beruntung kedua belah pihak bisa menahan diri. Dan, situasi bisa dikendalikan dengan baik.
Masih karena adanya wacana pembahasan RUU HIP, Presiden Jokowi pun kena getahnya. Kelompok 212 juga mendesak MPR untuk memakzulkan Jokowi jika pembahasan rancangan undang-undang ini tetap dilaksanakan. Pasalnya, melanggar UUD 45 dan undang-undang lainnya, yang telah ada.
Namun, tuntutan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi ini dinilai oleh pihak istana, salah sasaran.
"Salah sasaran dan absurd, RUU HIP inisiatif DPR. Pemakzulan di luar proses konstitusional adalah makar," ungkap Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, Kamis (16/7). Jitunews.com.
Tidak Mudah Makzulkan Presiden
Memang tak dipungkiri, berdasarkan UUD 45, memakzulkan presiden sangatlah tidak mudah. Sistem presidensial memang didesain untuk menjamin terwujudnya stabilitas politik, sehingga pemerintahan yang dipimpin presiden tidak mudah jatuh.
Menurut UUD 45 pasal 7A, presiden baru bisa dimakzulkan bila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/ wakil presiden.
Ketentuan dalam pasal di atas pun pada prosesnya sangat sulit dan berlapis-lapis. Salah satunya harus mendapat sokongan politik luar biasa besar. Sementara, kita ketahui bersama, koalisi partai pemerintahan Presiden Jokowi begitu mendominasi di parlemen.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI