BEBERAPA waktu terakhir isu perombakan kabinet atau reshuffle adalah topik yang sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan sejumlah kalangan.
Tidak hanya di tataran elite politik, pengamat atau para kaum akademisi. Masyarkat sipil pun tak jarang ditemukan ikut utak-atik siapa kira-kira menteri yang akan menjadi "korban" dan siapa pula penggantinya.
Sebenarnya, isu reshuffle adalah hal biasa-biasa saja dan seolah telah menjadi budaya musiman setiap tahunnya. Sebagai menteri yang ditugaskan untuk membantu tugas-tugas presiden di pemerintahan sangat jamak jika harus diganti atau digeser posisinya.
Hanya saja isu reshuffle kali ini menjadi lebih panas karena di awali dengan adanya kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap para pembantunya yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) sewaktu menggelar sidang kabinet paripurna, Kamis (18/06/2020).
Kemudian acara rapat itu seperti dibiarkan menjadi bola liar setelah Sekretariat Presiden menggunggah video kemarahan mantan Wali Kota Solo tersebut pada Minggu (28/06/2020).
Kemarahan Presiden Jokowi itu dipicu oleh kinerja para menterinya di KIM yang masih biasa-biasa saja. Padahal bangsa dan negara tengah dihadapkan pada situasi krisis akibat pandemi virus corona atau covid-19.
Jokowi menganggap, para pembantunya itu tidak memiliki sense of crisis. Sehingga akhirnya berujung pada ancaman pembubaran sejumlah lembaga dan reshuffle kabinet.
Reshuffle Bukan Barang Baru
Bicara soal reshuffle kabinet, tentu saja bukan perkara baru terjadi di pemerintahan Republik Indonesia (RI). Perombakan kabinet ini sudah terjadi sejak era kepemimpinan presiden pertama RI, Ir. Sukarno.
Hanya saja yang membedakan terjadinya reshuffle pada masing-masing kepemimpinan adalah situasi, kondisi dan kepentingan politiknya.
Dalam kesempatan ini, saya akan mencoba mengulas tentang reshuffle kabinet yang terjadi pada masa kepemimpinan tiga presiden RI, yaitu Presiden Sukarno, Presiden Soeharto dan terakhir adalah Presiden Jokowi.
1. Presiden Sukarno
Presiden Pertama RI ini tercatat dalam sejarah sebagai presiden yang sering melakukan pergantian kabinet. Hal ini terjadi seiring masih berubah-berubahnya sistem pemerintahan. Sukarno tercatat 26 kali melakukan perombakan kabinet dari mulai tahun 1945 hingga 1967.
Dikutip dari detikcom, pada awal pemerintahannya, pergantian susunan kabinet beriringan dengan pergantian perdana menteri. Tercatat ada delapan kali pergantian kabinet hingga masa Republik Indonesia Serikat pada tahun 1950.
Sempat pula ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ketika Sukarno, Hatta, dan Sjahrir ditangkap Belanda saat Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 hingga Juli 1949. Kala itu pemerintahan RI dimandatkan kepada Syafruddin Prawiranegara.
Masih dikutip detikcom, berikut merupakan nama-nama kabinet pada era awal kepemimpinan Sukarno.Â
Yaitu, Â Kabinet Presidensial yang terdiri atas 21 menteri, Kabinet Sjahrir I terdiri atas 17 menteri, Kabinet Sjahrir terdiri atas 25 menteri dan Kabinet Sjahrir III terdiri atas 32 menteri.
Lalu diteruskan Kabinet Amir Sjarifuddin I terdiri atas 34 menteri, Kabinet Amir Sjarifuddin II terdiri atas 37 menteri, Kabinet Hatta I terdiri atas 17 menteri dan Kabinet Hatta terdiri dari 19 menteri.
2. Presiden Soeharto
"The Smiling General" begitu julukan yang melekat pada presiden paling lama memimpin negeri ini, Presiden Soeharto.
Sejak kudeta merangkaknya sukses menasbihkan dirinya menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967 dan terpilih menjadi presiden lagi melalui pesta demokrasi (Baca : mekanisme pemilihan umum), Presiden Soeharto cukup "pelit" melakukan perombakan kabinet.
Dikututip dari detikcom, selama kepemimpinannya, Soeharto dikenal tak pernah merombak kabinet dalam satu periode.
Sewaktu masih menjabat sebagai Pjs Presiden, dia memimpin Kabinet Ampera II pada 1967-1968. Soeharto baru menjadi Presiden RI secara definitif pada 1968 dengan Kabinet Pembangunan I hingga tahun 1971.
Kabinet Pembangunan I mulanya tak jauh berbeda susunannya dengan Kabinet Ampera II. Kemudian Soeharto melakukan reshuffle pada 11 September 1971 atau setelah pemilu.
3. Presiden Jokowi
Seperti diketahui bahwa Presiden Jokowi menjabat Presiden RI melalui mekanisme pemilihan presiden (Pilpres) pada tahun 2014 lalu. Saat itu beliau yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil mengalahkan pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa.
Dalam catatan, Presiden Jokowi pertama kali melakukan resshuffle kabinet ialah pada tahun 2015. Tepatnya pada tanggal 12 Agustus. Setahun kemudian atau pada bulan Juli 2016, mantan Gubernur DKI Jakarta ini kembali melakukan perombakan kabinet.
Dalam kesempatan ini, saya tidak hendak mengulas tentang alasan Presiden Jokowi mershuffle kabinetnya yang terjadi pada tahun-tahun awalnya menjabat sebagai Presiden RI. Tapi akan lebih mengulas tentang isu reshuffle yang merebak beberapa waktu belakangan.
Seperti telah saya ulas pada tulisan di atas, isu reshuffle ini mencuat setelah viralnya video kemarahan Presiden Jokowi terhadap abak buahnya pada sidang kabinet paripurna hingga akhirnya berujung ancaman reshuffle kabinet.
Awalnya banyak yang percaya bahwa perombakan kabinet itu akan terjadi dalam waktu dekat, mengingat urgensi kondisi negeri akibat pandemi yang sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Namun hingga hari ini isu tersebut seperti menguap begitu saja. Bahkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno sempat memastikan tidak akan ada reshuffle kabinet dalam waktu dekat dengan dalih kinerja para pembantu presiden di KIM sudah bekerja dengan baik.
Hanya Gertak Sambal?
Setelah ada pernyataan dari Mensesneg, Pratikno, konstalasi negeri yang telah cukup panas oleh isu reshuffle kembali berubah.
Timbul dugaan bahwa ancaman Presiden Jokowi pada sidang rapat kabinet paripurna tersebut hanyalah semacam "test ombak" yang ingin tahu bagaimana riak atau reaksi dari masyarakat termasuk orang-orang yang berkepentingan. Baik itu para menteri atau partai politik yang berdiri di belakangnya.
Ada juga yang beranggapan, bahwa Presiden Jokowi hanya gertak sambal dengan tujuan melecut para pembantunya agar bekerja lebih giat lagi.
Entah mana yang benar dengan situasi dan kondisi seperti ini. Tapi, dalam pandangan sederhana saya, Presiden Jokowi seperti dihadapkan pada situasi serba salah.
Jika boleh meminjam istilah dari salah seorang artis penyanyi level atas tanah air, Syahrini. Orang nomor satu di republik ini tengah dalam posisi "maju mundur syantik".
Boleh jadi sebenarnya, Presiden Jokowi ingin melakukan perombakan kabinet dalam waktu dekat. Hanya saja dia juga harus menghitung baik buruknya demi negara, masyarakat dan tentu kepentingan politik dirinya pribadi.
Benar, reshuffle kabinet adalah hak mutlak atau hak prerogatif Jokowi sebagai presiden. Tapi, jangan lupa jadinya Jokowi sebagai presiden tak lepas dari proses politik dan didukung oleh partai politik.
Dengan begitu, Presiden Jokowi tidak bisa lepas berkoordinasi dengan partai-partai politik pendukungnya tersebut.Â
Sebab kalau asal main "hantam kromo" tanpa peduli adanya partai politik pendukung, tidak menutup kemungkinan akan merepotkan dirinya ke depan dalam menggerakan roda pemerintahannya.
Apa jadinya Presiden Jokowi jika harus "dimusuhi" partai pendukung. Boleh jadi setiap kebijakannya akan selalu dijegal, program-prigramnya terbengkalai karena tidak ada support dari parlemen. Jika ini terjadi, maka yang akan dirugikan adalah rakyat itu sendiri.
Karena itu, seperti saya bilang, sementara ini Presiden Jokowi lebih memilih cara "maju mundur syantik" sampai pada saatnya nanti reshuffle bisa terwujud tanpa menimbulkan kegaduhan atau ekses negatif yang merugikan banyak pihak.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H