"Bro, enak banget tuh si Pulan, mulai juga gabung udah di kasih dua bangku."
"Lah, kita? Udah gabung sejak awal, eh hanya dapat satu bangku saja. Gimana nggak iri, coba?".
NARASI percakapan satu arah yang saya buat di atas rasanya saat ini pantas di alamatkan pada Partai kebangkitan Bangsa (PKB).
Ya, Partai yang saat ini dikomadoi oleh Muhaimin Iskandar alias Cak Imin  sepertinya masih belum bisa menerima atas bergabungnya Partai Gerindra ke koalaisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan KH. Ma'ruf Amin.
Dalih yang dilontarkan oleh partai yang berlambang bola dunia dikelilingi sembilan bintang ini karena bergabungnya Partai Gerindra tidak baik bagi pendikan politik dan kehidupan berdemokrasi warga masyarakat di tanah air.
"Masuknya Gerindra ke kabinet itu sebenarnya ada kurang baik juga untuk pendidikan politik demokrasi kita. Itu aja sebenarnya. Karena Gerindra kan pendukung utama Prabowo," kata Ketua DPP PKB, Ahmad Iman Syukri. JawaPos.com
Oleh sebab itu adanya oposisi sangatlah dibutuhkan dalam demokrasi di Indonesia. Karena pemerintah juga perlu dikontrol oleh partai yang berada di luar kabinet.
Masih dikutip dari JawaPos.com, Ketua DPP Partai Gerindra, Habiburokman, mengeluhkan dengan sikap PKB yang mencampuri urusan partainya.
"Kami menghormati PKB dan pilihan politiknya. Hendaknya jangan ada yang mencampuri keputusan politik kami. Itulah etika politik," ujar Habiburokman, Kamis (9/7).
Anggota Komisi III DPR ini menambahkan pemerintah yang menggandeng Gerindra untuk masuk ke pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin adalah tepat. Karena dua menteri dari Gerindra seperti Prabowo Subianto menjabat Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, telah bekerja keras membantu Presiden Jokowi.
"Faktanya pilihan kami gabung ke pemerintahan tepat. Karena duo Prabowo bisa kerja maksimal untuk bangsa dan negara," katanya.
Dipandang dari kacamata demokratis, apa yang diucapkan Ahmad Iman Syukri boleh jadi ada benarnya. Karena dengan bergabungnya Gerindra ke koalisi pemerintah, sedikit banyaknya akan mempengaruhi pada iklim demokrasi tanah air. Khususnya yang terjadi di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta.
Dalam hal ini, kontrol politik dari partai opisisi akan berkurang tekanannya. Apalagi, Partai Gerindra merupakan partai terbesar nomor dua pada hasil Pemilu 2019 lalu.
Dengan demikian, masuknya Partai Gerindra ke pemerintah, porsi partai koalisi yang dikomandoi PDI Perjuangan menjadi lebih jauh dominan dibandingkan dengan porsi partai oposisi.
Meski ada yang bilang bahwa politik itu cair dan dinamis, terus bahwa dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi, yang hanya ada kepentingan yang abadi, jelas sah-sah saja. Namanya juga politik.
Tapi, tetap saja dari kacamata etika, masuknya Gerindra ke koalaisi pemerintah juga tidak sepenuhnya bisa dibenarkan.
Karena setidaknya akan "menyakiti" partai-partai lainnya yang sejak awal telah berjuang dan "berdarah-darah" memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Eh, giliran menikmati hasil, malah diserobot oleh mantan musuhnya sendiri.
Siapa coba pihak atau orangnya yang bisa terima dengan kondisi seperti itu? Pastinya teramat jarang. Kecuali pihak atau manusia yang memiliki hati emas.
Jadi, jika PKB ada perasaan iri terhadap Gerindra, saya kira sangat wajar. Hanya saja, apa yang diungkapkan oleh Ahmad Iman itu sudah sangat terlambat.Â
Saat ini Gerindra bukan lagi rival, tetapi sudah menjadi teman "satu kamarnya" yang bernama partai koalisi pemerintah.
Maka, dengan berat hati, saya harus mengatakan bahwa apa yang dikeluhkan oleh PKB itu sangat tidak etis dan kekanak-kanakan.
Sebab saat ini, apalagi bangsa dan negara tengah dihadapkan pada situasi krisis akibat mewabahnya pandemi virus corona atau covid-19, harusnya mereka merapatkan barisan. Kemudian satukan visi dan misi untuk sama-sama memerangi virus asal Wuhan, China tersebut.
Jadi, kalaupun PKB tidak setuju atau merasa iri dengan bergabungnya Gerindra, mestinya hal tersebut disampaikan sejak awal. Saat Kabinet Indonesia Maju (KIM) belum terbentuk, atau koalisi pemerintah plus Gerindra belum ditasbihkan.
Cukup menarik, ketika rasa kurang setuju atau rasa iri itu baru PKB diungkapkan sekarang. Tentu hal ini memantik spekulasi.
Pertama, saya rasa pada awal-awal PKB tidak berani mengungkapkan hal itu karena khawatir dapat pertentangan dari rekan partai koalisi lainnya yang akhirnya bisa merugikan partainya sendiri. Bisa itu terbuang dari partai koalisi atau tidak mendapat jatah kursi kabinet.
Kenapa? Karena pada hasil Pemilu lalu PKB hanya berada di posisi empat. Di bawah PDIP, Gerindra dan Golkar.
Dengan situasi itu, posisi tawar PKB jelas akan kalah oleh Gerindra. Terlebih, Ketua Umumnya, Prabowo Subianto adalah figur yang sangat berpengaruh untuk menjaga kondusifitas bangsa.
Kedua, saat ini PKB merasa terancam dengan masuknya Gerindra ke pemerintahan. Sebab, seperti diketahui, elektabilitas Prabowo Subianto terus di atas setelah masuk ke kabinet dan menjabat Menteri Pertahanan (Menhan).
Sedangkan Cak Imin yang juga digadang-gadang bakal maju Pilpres 2024, hampir tidak pernah mampu menembus 10 besar dalam perolehan elektabilitasnya.
Bahkan berdasarkan survey terakhir Indikator Politik Indonesia (IPI) yang diselenggarakan bulan Mei 2020 lalu, posisi Cak Imin ada di urutan 14 dengan raihan elektabilitas 0 persen.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H