Ketika awal-awal Jokowi dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya yang kali ini berpasangan dengan Ma'ruf Amin, Partai Demokrat yang masih di ketuai oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya sudah memberi kode untuk bergabung.
Salah satu buktinya adalah pernah mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk masuk dalam jajaran kabinet Jokowi. Sayang, akhirnya Jokowi tidak melirik proposal Partai Demokrat tersebut.
Sebagai akibatnya, partai yang berdiri 9 September 2001 memutuskan bergabung dengan PKS yang sudah sejak awal memproklamirkan diri sebagai partai oposisi.
Jika menilik sejarah tersebut di atas, bukan mustahil Demokrat akan mau bergabung dengan pemerintah, jika AHY yang kini telah menjadi Ketum Partai Demokrat atau kader lainnya di tarik dalam kabinet Jokowi.
Pun dengan PAN, saya kira potensi untuk masuk dalam koalisi pemerintahan Jokowo masih sangat terbuka lebar, mengingat hubungan baik yang selama ini diperlihatkan oleh Ketua Umumnya, Zulkipli Hasan.
Apalagi, wacana beegabungnya PAN dengan koalisi pemerintahan sempat berhembus kencang waktu Jokowi belum mengumumkan kebinetnya.
Menurut saya, ada dua alasan yang akhirnya PAN memutuskan jadi oposisi. Pertama karena tidak ada satupun kader PAN yang ditarik menjadi menteri dan masih adanya sesepuh sekaligus pendiri PAN, Amien Rais.
Seperti diketahui, Amien Rais sejak awal memang selalu bersebrangan dengan pemerintah dan menghendaki oposisi. Tapi, dalam struktur kepengurusan PAN yang baru, nama mantan pimpinan Muhamadiyah ini sudah tak terdaftar lagi.
Itu artinya batu sandungan, jika PAN ingin bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi telah tidak ada lagi.
Itulah hipotesa saya terhadap PAN dan Demokrat. Sedangkan untuk PKS, jujur saya melihatnya partai ini akan tetap pada pendiriannya. Tetap akan jadi partai oposisi.
Terlebih, seperti dikutip dari Tirto id, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menegaskan akan tetap pada posisinya dengan dalih mencintai negeri dengan menjadi oposisi