Ada hal-hal yang harus dikomunikasikan terlebih dahulu dengan para pimpinan partai politik (Parpol). Sebab, diakui atau tidak, dari sinilah keberangkatan awal Jokowi hingga mampu menjelma jadi penguasa di Republik Indonesia.
Oposisi Tergoda?
Tapi, seandainya isu reshuffle Presiden Jokowi yang dihembuskan pada saat sidang kabinet paripurna tersebut benar-benar akan diwujudkan dalam waktu dekat, itu artinya bakal ada kursi kosong dalam kabinetnya.
Lantas, milik siapa kursi yang ditinggalkan tersebut? Jawabannya tentu bisa milik siapa saja. Bisa diberikan pada kalangan profesional, tekhnokrat atau kader partai.
Nah, jika bicara kader partai, pasti kader-kader yang berada dalam lingkaran kekuasaan bakal mendapatkan kesempatan lebih besar untuk menduduki kursi yang kosong. Tapi, bukan berarti kesempatan untuk partai oposisi tertutup rapat-rapat.
Sebuah keniscayaan, bila di masa jabatan terakhirnya sebagai presiden, Jokowi ingin lebih memperkuat posisinya dan menguasai kursi parlemen agar bisa meminimalisir tekanan politik.
Benar, jika ini terjadi akan membuat iklim demokrasi tanah air tidak sehat. Sebab daya dobrak atau kritis sebagai penyeimbang pemerintahan tidak akan berfungsi maksimal.
Tapi, dalam budaya politik Indonesia, kadang hal-hal seperti ini kurang mendapat perhatian lebih. Yang penting bagaimana mengamankan diri hingga kekuasaannya berjalan mulus hingga akhir.
Pertanyaan berikutnya, akankah partai oposisi yabg saat ini diduduki oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat tergoda untuk masuk dalam lingkaran pemerintah?
Dalam hipotesa sederhana saya, dari ketiga partai oposisi ini hanya PAN dan Partai Demokrat yang rasanya berpotensi masuk dalam lingkaran koalisi pemerintahan.
Mengapa? Untuk mencari jawabannya, yuk, kita sedikit mundur ke belakang!