BAGI warga masyarakat Jawa Barat, pasti sudah tidak asing dengan salah satu makanan yang bernama Combro. Betapa tidak, Combro memang merupakan makanan khas dari tanah Pasundan.
Terbuat dari parutan singkong yang bagian dalamnya diisi dengan sambal oncom kemudian digoreng, karena itulah dinamai combro yang merupakan kependekan dari oncom di jero (bahasa Sunda, artinya : oncom di dalam).
Untuk kebanyakan kalangan, makanan Combro ini boleh jadi biasa-biasa saja bahkan mungkin tak sedikit yang tidak menyukainya. Karena rasanya yang cenderung pedas.
Bagi saya pribadi, Combro justru menjadi salah satu makanan pavorit yang kerap dinikmati pada pagi hari dibarengi dengan segelas kopi atau sore masih dengan minuman serupa. Nikmat rasanya.
Tapi, lebih dari itu, Combro buat saya bukan sekedar makanan tapi menyimpan sebuah kisah yang mengakibatkan saya sedikit mendapatkan pelajaran hidup darinya.
Maksudnya di sini bukan dari makanannya, melainkan dari seorang pedagang combronya. Sayang, hampir dua tahun lalu pedagang ini telah meninggal dunia. Tapi, kata-katanya sampai saat ini masih terngiang.
Pelajaran hidup apa yang saya dapat dari almarhum pedagang combro ini? Berikut sekelumit kisahnya!
Sebagai seseorang yang bekerja di lapangan, hampir tiap pagi saya selalu menyempatkan diri nongkrong dulu di taman Alun-alun Sumedang untuk membeli sarapan dan ngopi.
Karena memang tiap pagi taman alun-alun Sumedang penuh dengan para padagang yang menjajakan aneka makanan. Salah satunya adalah pedagang combro.
Nama pedagang combro ini, saya masih sangat ingat betul perawakannya, gaya bicara, termasuk tentu saja namanya. Nama dia adalah Maman. Saya biasa memanggilnya dengan sebutan Kang Maman.