LEBIH dari sepekan lalu, tanah air cukup dikejutkan dengan peristiwa pemanggilan hingga interogasi berlebih terhadap Ismail Ahmad oleh Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara.
Gara-garanya adalah, Ismai Ahmad yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tersebut mengunggah salah satu guyonan mantan Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdulrachman Wahid alias Gus Dur, terkait tiga polisi jujur yang ada di negeri ini.
Menurut Gus Dur, ketiga polisi jujur tersebut adalah polisi tidur, patung polisi dan Jendral Hoegeng.
Entah apa yang merasuki para aparat kepolisian setempat sehingga harus mengambil tindakan berlebih itu. Padahal, sekilas, boleh jadi maksud Ismail tersebut hanya sebatas guyonan, aksi spontanitas. Intinya, tidak bermaksud untuk menyindir siapapun atau pihak manapun.
Kontan, peristiwa yang menimpa Ismail tersebut menjadi trending dan mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Bahkan, pihak Mabes Polri sebagai induk tertinggi dari institusi kepolisian ini pun tak luput bereaksi. Mereka meminta kasus tersebut jangan dibesar-besarkan.
Benar, pada akhirnya Ismail kembali dibebaskan. Kendati demikian, peristiwa pencidukan akibat kebaperan polisi setempat sudah terjadi. Maka, tak sedikit spekulasi yang muncul, bahwa kepolisian yang menciduk Ismail telah gagal paham terhadap watak masyarakat Indonesia yang kebanyakan humoris.
Ada pula yang menyebut, dengan adanya penangkapan Ismail yang memang kebetulan momentumnya berdekatan dengan trendingnya unggahan video komika Bintang Emon, bahwa ruang humor di negeri ini tak bebas lagi.
Seperti diketahui, unggahan video Bintang Emon tersebut contentnya berupa kritikan terhadap rendahnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada dua pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswdedan.
Hanya, meski dikemas dengan gaya komedi, Stand Up komedian itu mendapat serangan dari pihak-pihak tak dikenal. Bahkan sampai ada yang menuduh, bahwa mantan juara ajang pencarian bakat Stand Up Comeddy Indosiar tersebut suka mengkonsumsi barang narkotika jenis sabu.
Kembali ke laptop. Guyonan Gus Dur tentang tiga polisi jujur itu tentu saja bukan tanpa fakta. Jendral Hoegeng yang diselipkan dalam guyonannya dimaksud memang sudah sangat melegenda dan terkenal dengan sikapnya yang jujur dan tegas dalam mengemban tugasnya sebagai aparatur negara.
Bahkan, karena kesederhanaan dan kejujurannya itu, selepas tak lagi menjabat, Hoegeng pernah tergabung dalam kelompok yang menamakan dirinya petisi 50.
Petisi 50 itu terbentuk sebagai ungkapan keprihatinan atas penguasa orde baru (orba) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Mereka beranggapan bahwa Presiden Soeharto telah keliru dalam menafsirkan Pancasila.
Lalu, siapa sebenarnya Jendral Hoegeng itu dan kisah apa saja yang menjadikan beliau dikenal dengan kejujurannya?
Beliau adalah seorang Jendral polisi yang pernah menjabat sebagai Kapolri pada masa jabatan tahun 1968 hingga 1971 silam. Â
Nama lengkapnya adalah Hoegeng Imam Santoso, lahir di Pekalongan Jawa Tengah, 14 Oktober 1921.
Sebagai seorang polisi, ketegasan, tanggung jawab, dedikasi serta kejujurannya dalam menjalankan tugas dan fungsinya selaku aparat keamanan sudah sangat tidak disangsikan, sehingga banyak disegani oleh kawan maupun lawan. Hal ini pernah dibuktikannya saat beliau pernah membuat gempar Kota Medan.
Kisahnya, berawal saat dirinya ditugaskan ke Sumatera Utara sebagai Kepala Reskrim, Hoegeng langsung dihadapkan dengan segala bentuk gratifikasi berupa rumah dan mobil yang diberikan oleh para bandar judi, penyelundup hingga koruptor.
Kendati demikian, Hoegeng menolaknya. Beliau malah lebih memilih tidur di hotel beberapa hari, sampai mendapatkan rumah dinas.
Bukan hanya itu, suatu ketika rumah dinasnya dipenuhi oleh perabotan lengkap hasil kiriman dari para bandar judi. Lagi-lagi Hoegeng menolaknya, lalu mengeluarkan perabotan tersebut dan kemudian ditaruh di pinggir jalan.
Dasar sipatnya sebagai abdi negara memang sangat jujur. Saat dipindahkan ke Jakarta pun untuk menjabat Dirjen Imigrasi, Hoegeng tetap istiqomah dengan kejujurannya.
Dikutip dari Kontan.id, Chris Siner Key Timu dalam artikel "Pak Hoegeng dalam Kenangan" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menceritakan, Hoegeng pernah meminta istrinya, Merry untuk menutup toko kembang. Ketika istrinya menanyakan hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembang, Hoegeng menjawab singkat.
"Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," tulis Chris.
Kemudian, pada 1968, Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kapolri.
Rosihan Anwar dalam artikelnya berjudul, "In Memorian Hoegeng Imam Santoso" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menyebutkan, pada masa itu kasus penyelundupan merajalela. Di antara yang terkenal adalah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It.
Di bawah kendali Hoegeng, pada tahun 1971, penyelundupan tersebut berhasil diungkap dan pelakunya dibekuk. Sayang, kasus itu ternyata mempercepat pemberhentiannya sebagai Kapolri. Soeharto beralasan, pemberhentian Hoegeng tersebut adalah untuk regenerasi.
Itulah sedikit kisah legenda kejujuran seorang Jendral Polisi yang bernama Hoegeng Imam Santoso. Seorang sosok yang benar-benar mengabdikan dirinya untuk bangsa, negara dan rakyat.
Sebagai masyarakat sipil biasa, saya tentu saja sangat merindukan bahwa di negeri ini bisa kembali lahir Hoegeng-Hoegeng muda lainnya dan menjadikan bangsa dan negara Indonesia aman tentram serta gemah ripah loh jinawi. Aaminn.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H