Mohon tunggu...
Semprianus Mantolas
Semprianus Mantolas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pecandu Kopi

Baru belajar melihat dunia, dan berusaha menyampaikannya melalui simbol (huruf)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat WFH Berlangsung, Wifi dan Laptop Jadi Penentu Nasib Pekerja

19 Juni 2020   17:26 Diperbarui: 19 Juni 2020   17:22 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena bila laptop dan wifi tidak ia miliki, yang terjadi adalah pekerjaan akan tertunda dan tak terselesaikan. Bila pekerjaan tak terselesaikan, masalah berikutnya adalah kinerja dia dipandang buruk oleh atasan. Akibatnya dia bisa kena suspend atau bahkan diberhentikan dari pekerjaan.

Jadi kita bisa melihat, bagaimana dari sebuah teknologi kecil dan tak kelihatan bernama laptop dan wifi itu dapat menentukan nasib seorang pekerja.

Dari dunia pendidikan pun sama. Saat ini proses belajar melajar dilakukan secara online. Saya rasa untuk bagian ini tidak perlu dijelaskan secara detail, karena kita dapat membayangkan betapa tidak berjalannya proses belajar mengajar itu tanpa jaringan internet.

Bahkan banyak kejadian orang tua terpaksa membeli laptop untuk anaknya sehingga mereka dapat mengikuti proses belajar mengajar di rumah. Dan itu berlaku untuk semua jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA.

Dulu saat kita meminta orang tua untuk dibelikan laptop apalagi masih SD, jawabanya pasti seragam "masih anak kecil, jangan main laptop." Di era pandemi seperti sekarang ini, justru orang tua yang menawarkan hal tersebut.

Ini yang saya maksudkan, dunia hari-hari ini secara tak sadar telah merubah kebutuhan kita. Barang yang awalnya kita anggap mewah (tersier/sekunder) kini menjadi kebutuhan pokok kita. Bahkan menjadi penentu nasib kita.

Celakanya adalah perubahan kebutuhan yang terjadi secara masal ini, tentu menguntungkan perusahan laptop dan penyedia jasa internet. Tapi saya tidak ingin berbicara lebih jauh terkait itu. Biarkanlah para buzzer anti kapitalislah yang berbicara.

Terakhir yang mungkin menjadi refleksi bersama, apakah kini kita telah menjadi budak teknologi? Sehingga bahkan nasib pekerja dan pelajar pun ada ditangan teknologi, bila tidak dipenuhi maka karier dan nilai jadi taruhannya. Lantas mungkinkah kita mampu keluar dari lingkaran itu?

Ah sudahlah, itu mungkin sebuah cita-cita yang utopis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun