Selama karantina mandiri di rumah atau bahasa kerennya stay at home dikumandangkan oleh pemerintah, banyak dari kita yang mengalami perubahan kebutuhan.
Sadar ataupun tidak, sebelum Covid-19 menginvasi dunia, beberapa barang kita anggap sebagai kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. Namun disaat covid-19 berlangsung, perubahan itu terjadi.
Barang yang dulunya tidak masuk dalam list kebutuhan primer kita, kini menjadi kebutuhan pokok kita. Benda tersebut adalah laptop dan jaringan internet.
Ini berdasarkan pengamatan saya pada pelajar dan kelas pekerja, khususnya pekerja kantoran. Tentu pada bidang pekerjaan yang lain, laptop dan jaringan internet (wifi) tidak begitu diperlukan. Misalnya pedagang kaki lima atau bapak tukang becak yang banyak di jalanan Malioboro.
Agar kita satu frame dalam tulisan ini, maka saya akan membatasi pada perubahan kebutuhan pelajar dan pekerja kantoran. Motifnya sederhana, agar tulisan ini tidak diserang buzzer apalagi buzzer yang baru saja membaca das kapital dan bermimpi akan perjuangan kelas bawah.
Agar semakin meyakinkan, saya memberikan beberapa data yang dapat kita jadikan sebagai pembanding bagaimana Covid-19 merubah kebutuhan dasar pola berkomunikasi manusia.
Dari data di lapangan, jumlah pengguna jaringan internet baru mengalami peningkatan hingga 40% selama wfh berlangsung. Tak hanya itu, permintaan laptop dari masyarakat pun meningkat drastis selama covid-19.
Dunia kerja selama pandemi berlangsung juga ketambahan kalimat baru. Sering orang menyebutnya dengan istilah WFH atau work from home. Sederhananya adalah berkantor di rumah atau membawa dan mengerjakan tugas kantor di rumah.
Karena sifatnya berkantor dari rumah maka fasilitas di rumah pun harus mendukung. Itu sebabnya jaringan internet seperti wifi dan laptop/komputer menjadi kebutuhan primer bagi pekerja kantoran. Ini terjadi karena tuntutan pekerjaan.
Saya teringat beberapa waktu yang lalu, harus menemani kakak saya membeli laptop dan menambah kecepatan internet di rumah. Dalam perjalanan dia berkata "tanpa laptop dan jaringan internet dia tidak bisa hidup."
Awalnya saya bertanya maksud dari ucapan itu, tapi setelah dijelaskan saya jadi paham bagaimana Covid-19 merubah kebutuhan para pekerja kantoran seperti kakak saya.
Karena bila laptop dan wifi tidak ia miliki, yang terjadi adalah pekerjaan akan tertunda dan tak terselesaikan. Bila pekerjaan tak terselesaikan, masalah berikutnya adalah kinerja dia dipandang buruk oleh atasan. Akibatnya dia bisa kena suspend atau bahkan diberhentikan dari pekerjaan.
Jadi kita bisa melihat, bagaimana dari sebuah teknologi kecil dan tak kelihatan bernama laptop dan wifi itu dapat menentukan nasib seorang pekerja.
Dari dunia pendidikan pun sama. Saat ini proses belajar melajar dilakukan secara online. Saya rasa untuk bagian ini tidak perlu dijelaskan secara detail, karena kita dapat membayangkan betapa tidak berjalannya proses belajar mengajar itu tanpa jaringan internet.
Bahkan banyak kejadian orang tua terpaksa membeli laptop untuk anaknya sehingga mereka dapat mengikuti proses belajar mengajar di rumah. Dan itu berlaku untuk semua jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA.
Dulu saat kita meminta orang tua untuk dibelikan laptop apalagi masih SD, jawabanya pasti seragam "masih anak kecil, jangan main laptop." Di era pandemi seperti sekarang ini, justru orang tua yang menawarkan hal tersebut.
Ini yang saya maksudkan, dunia hari-hari ini secara tak sadar telah merubah kebutuhan kita. Barang yang awalnya kita anggap mewah (tersier/sekunder) kini menjadi kebutuhan pokok kita. Bahkan menjadi penentu nasib kita.
Celakanya adalah perubahan kebutuhan yang terjadi secara masal ini, tentu menguntungkan perusahan laptop dan penyedia jasa internet. Tapi saya tidak ingin berbicara lebih jauh terkait itu. Biarkanlah para buzzer anti kapitalislah yang berbicara.
Terakhir yang mungkin menjadi refleksi bersama, apakah kini kita telah menjadi budak teknologi? Sehingga bahkan nasib pekerja dan pelajar pun ada ditangan teknologi, bila tidak dipenuhi maka karier dan nilai jadi taruhannya. Lantas mungkinkah kita mampu keluar dari lingkaran itu?
Ah sudahlah, itu mungkin sebuah cita-cita yang utopis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H