Mohon tunggu...
Semprianus Mantolas
Semprianus Mantolas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pecandu Kopi

Baru belajar melihat dunia, dan berusaha menyampaikannya melalui simbol (huruf)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Heningnya Lebaran Tahun Pandemi: Saatnya Esensi Mengalahkan Eksistensi

24 Mei 2020   09:29 Diperbarui: 24 Mei 2020   09:59 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/ foto: tribunnews

Ada yang hilang dari lebaran tahun ini. Bukan ungkapan maaf, tapi teriakan takbir dan bunyi letusan kembang api.

Kebiaasan bangun dini hari, rebutan kamar mandi hingga rebutan tempat di Masjid kini luput di mata. Kumpulan masa berbaju putih yang dengan ramah bersalaman sambil mengucapkan maaf pun hilang dari pandangan.

Idul fitri tahun ini berbeda dari biasanya. Sunyi senyap tanpa ada arak-arakan dan teriakan "Allahu Akbar" anak adam.

Di kota S sendiri sebagai zona merah penyebaran Covid-19, tak ada yang bisa kunikmati dari Idul Fitri 2020. Eksistensi hari suci seolah dikalahkan virus seukuran protozoa atau mungkin lebih kecil.

Memang sebelumnya, pemerintah melalui kementrian agama sempat melonggarkan peraturan terkait Shalat Ied. Bagi wilayah green zone (zona hijau) diperbolehkan untuk melakukan shalat sunah muakkad itu.

Bahkan MUI pun merespon dengan positif. Melalui Fatwa MUI nomor 28 tentang Sholat ied di era wabah corona, memperbolehkan wilayah hijau (green zone) melakukan shalat ied.

Tapi kebijakan ini tentu tidak berlaku di wilayahku. Sebagai ibu kota dari timur Jawa, wilayahku masuk dalam lingkaran zona merah, dengan jumlah positif mencapai 310 dan diperkirakan akan terus bertambah.

Bahkan jumlah pasien positif baru pada 23 Mei kemarin untuk keseluruhan Jatim mencapai 466. Angka ini tentu saja lebih tinggi dari Jakarta yang hanya 115 kasus baru.

Tentu ini bukan perlombaan angka, tetapi bagian dari peringatan bahwa Jatim kini rentan akan invasi virus corona.

Ini mungkin jadi alasan mengapa lebaran kali ini sangat sepi di wilayahku. Padahal lebaran tahun 2019 kemarin, lebih dari 1,9 juta penduduk Indonesia atau 11,4% pemudik membanjiri wilayah Jatim. Belum lagi, euforia para anak adam dalam menyambut hari yang suci ditahun lalu dengan petasan dan kumandang "Allahu Akbar."

Kini semuanya lenyap. Ucapan maaf sehabis shalat bersama seperti yang biasanya dilakukan, berganti coppy paste template kalimat maaf. Yang kemudian disebar secara berjamaah keseluruh grup whatsapp dan kontak yang ada di smartphone.

Keberadaan atau eksistensi Idul Fitri kali ini bisa saja hilang. Tapi aku berharap, esensinya tak akan pernah lekang. Bahkan oleh virus sekalipun.

Soal apa itu esensi lebaran, hanya kamu saja yang tahu. Setiap kita punya pemaknaan yang berbeda. Alih-alih berharap maaf, yang pasti untuk Indonesia kita menang akan invasi virus. Terkhususnya kebijakan pemerintah yang tak lagi berubah-ubah. Membuat kita bimbang dan cemas akan bagaimana mau dibawa kemana sang garuda ini.


Walau tak mendengar kumandang takbir disetiap sudut masjid, rekaman takbiran dari Ustaz Jefri Al Buchori cukup bagi kita untuk melepas rindu.

Terakhir dariku, selamat merayakan hari kemenangan, selamat merayakan kesunyian yang belaka ini, semoga esensi dari hari yang suci ini mengalahkan eksistensi "nisbi" yang pernah kita alami sebelum-sebelumnya.

Mohon maaf baik lahir maupun batin.

Salam Hening

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun