"Bu, aku benar-benar merindukanmu," teriak seorang anak perempuan dari kejauhan.
"Ibu juga merindukanmu, biarkan aku memelukmu. Jadi anak yang baik, ibu sedang berjuang melawan monster, ibu akan kembali jika sudah berhasil mengalahkannya," balas seorang perawat yang hanya mampu memberikan pelukan dari jarak jauh tanpa menyentuh anaknya karena takut anaknya tertular virus.
Kisah ini dialami oleh seorang perawat rumah sakit di China. Wanita yang diketahui bernama Liu Haiyan ini ditugaskan untuk berkerja di unit penyakit menular di rumah sakit Kota Fugou, Provinsi Henan.
Liu Haiyan sudah bertugas selama 10 hari di sana untuk merawat para penderita virus corona atau Covid-19. Perawat tersebut rela meninggalkan rumah dan keluarganya. Padahal, ia memiliki suami dan anak yang masih berusia 9 tahun.
Moment pertemuan antara ibu dan anak ini diunggah oleh salah satu media lokal, China Xinhua News di laman twitter pada 4 Februari 2020 lalu.
Perempuan Garda Terdepan
Dalam sektor kesehatan, perawat perempuan menempati posisi yang cukup tinggi. Laporan organisasi kesehatan dunia (WHO) pada 7 April 2020 lalu sebagaimana yang dikutip dari situs United Nations, jumlah perawat secara global sebanyak 27, 9 juta orang dan 70% diantaranya adalah perawat perempuan
Laporan lain dari WHO dengan judul, Gender Equality in the health Workforce: Analysis of 104 Countries menyebutkan, sejak tahun 2000 hingga 2017 peningkatan perawat perempuan mencapai 13% atau 0, 58% setiap tahunnya. Sementara pertumbuhan perawat laki-laki relatif stagnan bahkan adapula dibeberapa negara yang mengalami penurunan.
Di Indonesia sendiri, jumlah perawat perempuan terbilang cukup tinggi dibandingkan laki-laki.
Pusat data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI menyebutkan, hingga April 2017 telah ada sekitar 359.339 orang yang mendaftar sebagai anggota Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Dari jumlah tersebut, 103.013 orang atau 29% adalah perawat pria. Sementara perawat perempuan mencapai 71% atau sekitar 256.326 orang.
Bila berkaca dari data diatas dapat disimpulkan bahwa peran tenaga medis perempuan dalam keikutsetaannya melawan virus corona sangat besar. Perempuan berada di garda terdepan dalam penanganan pasien.
Dari sektor ekonomi pun sama. Di Indonesia jumlah UMKM yang dikelola atau dimiliki perempuan jumlahnya kurang lebih 60 persen.
Uniknya dari 60 persen UMKM Indonesia yang memproduksi hand sanitizer atau penyanitasi tangan hazmat, dan masker dimiliki perempuan.
KDRT Selama Karantina Corona
Air susu dibalas air tuba. Adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang dialami perempuan saat ini.
Saat perempuan tangguh lainnya sedang berjuang melawan monster covid-19 dan menyelamatkan nyawa manusia, ditempat berbeda ada perempuan yang disiksa dan mendapatkan kekerasan dari pasangannya.
Sekertaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres melalui akun twitter pribadinya pada 6 April 2020 lalu menyebutkan, saat ini dunia sedang mengalami gelombang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berskala global.
"Damai bukan hanya tidak adanya perang. Banyak wanita yang melakukan karantina karena Covid-19 mengalami tindak kekerasan, padahal seharusnya mereka merasa nyaman di rumah mereka sendiri" kata Antonio
Dibeberapa negara katanya, jumlah wanita yang meminta layanan perlindungan melonjak dua kali lipat pasca karantina corona. Sementara polisi dan layanan kesehatan lainnya kewalahan melayani permintaan dikarenakan kekurangan personil.
Karantina corona atau kebijakan dirumah saja memang mampu mengatasi persebaran corona. Namun ribuan bahkan jutaan wanita terjebak dalam KDRT yang dilakukan oleh pasangan mereka sendiri.
Tuani Sondang Rejeki Marpaung, anggota Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) dalam laporan dw.com menjelaskan, peningkatan kasus kekerasan terhadap wanita di Indonesia selama karantina corona meningkat tajam.
Jumlah aduan yang mereka terima melalui hotline, sosial media, dan email sejak tanggal 16 Maret hingga 12 April 2020 adalah sebanyak 75 pengaduan kasus. Atau dengan kata lain, dalam sehari terdapat 2 hingga 3 kasus kekerasan terhadap wanita yang dilakukan oleh pasangan sendiri.
Jenis aduan pun beragam, ada yang berupa penyebaran konten-konten intim ada pula terkait dengan kasus-kasus KDRT.
"Si korban ketika mengalami kekerasan, dia juga tidak bisa untuk melaporkan karena situasi (pandemic corona) ia tidak bisa keluar," kata Tuani disadur dari dw.com
Tak hanya itu saja, beban kerja wanita selama karantina atau kebijakan dirumah saja dikeluarkan pemerintah pun semakin meningkat. Baik fisik maupun psikis.
Celakanya hingga kini pemerintah belum mengeluarkan formula yang pas entah berbentuk kebijakan atau apapun bentuknya, dalam melindungi nasib perempuan.
Kebijakan yang memperhatikan gender pun sampai saat ini tak pernah terdengar. Yang terdengar hanyalah teriakan untuk melindungi ojol. Lantas bagaimana dengan perempuan?
Dahulu Kartini muncul untuk menghilangkan sekat antara laki-laki dan perempuan. Bahwa wanita juga bisa berkompetisi dengan pria. Kini apa yang diperjuangkan telah terwujud.
Banyak tenaga medis perempuan yang rela meninggalkan keluarga demi menyelamatkan nyawa manusia dari rongrongan pandemi covid-19.
Namun terlepas dari itu semua, si kartini yang rela mengorbankan nyawanya itu butuh perlindungan sekarang. Perlindungan secara nyata dalam bentuk kebijakan pemerintah yang berbasiskan gender dan bukan ABS (Asal Bapak Senang).
Jangan kita menunggu, balasan perempuan dengan walk out dari pandemi Covid-19. Karena bila itu terjadi, jutaan nyawa akan melayang.
Selamat Hari Kartini
Terimkasih kepada 70% wanita di seluruh dunia yang sudah bertarung nyawa melawan corona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H