Mohon tunggu...
Semprianus Mantolas
Semprianus Mantolas Mohon Tunggu... Jurnalis - Pecandu Kopi

Baru belajar melihat dunia, dan berusaha menyampaikannya melalui simbol (huruf)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda Zaman, Beda Pola Gerakan Mahasiswa Indonesia

9 Oktober 2019   23:56 Diperbarui: 10 Oktober 2019   00:10 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang akhir bulan September hingga awal Oktober 2019, informasi yang betebaran baik di televisi maupun media sosial adalah seputar gerakan aksi mahasiswa. Bahkan seruan tagar seperti #gejayanmemanggil, #demomahasiswa hingga #stmmelawan sempat menjadi trending topic di twitter.

Bukan tanpa alasan, gerakan yang diklaim mencapai belasan ribu ini ditujukan untuk menagih janji pemerintah yang "semula" akan memperkuat KPK dalam pemberantasan korupsi. 

Alasan lainnya, menyangkut pasal-pasal yang kontroversi dalam RKUHP yang akhirnya ditunda pengesahannya oleh Presiden Jokowi. Masalah penyelesaian diskriminasi di Papua juga termaktub di dalamnya.

Kendati hari ini, gerakan mahasiswa dan sekutu (STM) mulai mereda, banyak yang mulai membanding-bandingkan aksi terebut dengan aksi 1998. 

Bahkan CNBC dalam artikel yang dimuat pada 24 September lalu, secara gamblang memembandingkan aksi mahasiswa 1998 dengan aksi mahasiswa 2019.

Seolah mengesampingan substansi dan tujuan dari aksi yang ada, CNBC membandingkannya dari segi jumlah masa aksi. Walau tidak menyebutkan jumlah yang pasti, CNBC menuliskan bahwa aksi mahasiswa 2019 berasal dari sejumlah universitas baik dari ITB, UPI, UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan lainnya. -Tak lupa pula diikuti dengan kutipan langsung ala berita.

"Kami datang 5 bus, berangkat pagi tadi jam 2 dari Bandung," kata seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Jati Bandung dilansir dari CNBC

Sementara jumlah aksi mahasiswa 1998, secara hakulyakin CNBC menuliskan 9000 mahasiswa.

Memang membandingkan aksi 1998 dengan aksi 2019 dari segi jumlah masa aksi tak akan dikenai pasal. Apalagi pasal dalam KUHP yang masih "bermasalah". Walau begitu, saya lebih tertarik untuk membandingkannya dalam konteks sejarah.

Konfrontatif Vs Korektif

Aksi 1998 seolah menjadi oase bagi masyarakat Indonesia pada era itu. Akhir dari perjuangan tersebut ditandai dengan jatuhnya rezim orde baru dan mulainya era reformasi. Tali kekang yang selama 32 tahun membelenggu masyarakat akhirnya lepas, dan siapun dapat menjadi apa yang dia inginkan.

Pers dibebaskan, kekebasan mengemukakan pendapat dimuka umum didapatkan kembali serta tak perlu takut mengkritik pemerintah karena si penculik telah tumbang bersama tuannya.

Sorotan dari aksi 1998 jelas. Pemerintah yang sangat otoriter dan anti demokrasi melawan suara masyrakat yang diwakili mahasiswa melafazkan demokrasi.

Bak api dan air, anti demokrasi melawan pro demokrasi. Sehingga tak heran bila mahaiswa 1998 yang akan turun ke jalan sudah siap akan resikonya, entah hilang karena diculik ataupun mati dibunuh.

Sikut-sikutan terlihat jelas antara mahasiswa dan pemerintah dengan bantuan dari ABRI. Tak heran, bila gerakan tersebut banyak menelan korban. 

\Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid menyebutkan, kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap mahasiswa di tahun 1998 merupakan pelanggran HAM. Tragedy Trisakti mungkin adalah salah satu buktinya.

Seruan revolusi yang akhirnya menjadi reformasi pun menunjukan tujuan mahasiswa saat itu. Seluruh civitas akademika perguruan tinggi, secara serempak menyatakan sikap melawan orde baru.

Berlatar akan pola perjuangan, jelas dapat disimpulkan bahwa aksi mahasiswa 1998 memiliki pola konfrontatif. Dimana musuh dari mahasiswa adalah pemerintah. Mahasiswa yang menuntut demokrasi dengan pemerintah yang selalu membawa lagu lamanya yakni otoriter untuk kestabilan (anti demokrasi).

Bila 1998 menunjukan wajah konfrontatif, gerakan mahasiswa 2019 yang kerap dikenal dengan generasi milenial ini, membawa pola perjuangan yang sedikit berbeda.

Disalah satu talk show, Ketua DEMA UIN Jakarta, Syarif Hidayatullah menyampaikan bahwa hadirnya mahasiswa saat ini adalah mengisi pos-pos politik yang hilang. Menurutnya, saat ini tidak ada lagi oposisi yang dianggap mampu mengkritisi pemerintah tatkala melakukan kekeliruan.

"Kontestasi politik (Pilpres) yang terjadi di periode lalu  luar biasa pembelahan politiknya. Pembicaran politik seolah surga dan neraka. Tetapi ketika berbicara terkait RUU KPK sama sekali tdak ada pembelahan politik karena rekonsiliasi. Kalau memang rekonsiliasi, biarkanlah mahasisa yang jadi oposisiya," kata Syarif

Selain itu, bila melihat 7 tuntutan mahasiswa dalam demo yang terjadi pada September lalu, hampir semuanya bernada koreksi. Baik pengoreksian terhadap RUU KPK yang menunggu tanda tangan presiden, RUU KUHP yang akhirnya ditunda, hingga permasalahan lainnya seperti kasus di Papua.

Nada biarkanlah mahasiswa yang menjadi oposisi pun seolah memberikan sinyal kepada pemerintah, bahwa kerja pemerintah saat ini sedang diawasi oleh mahasiswa. 

Tatkala pemerintah melakukan kesalahan, maka mahasiswa akan turun ke jalan dan mengingatkan pemerintah telah terjadi kekeliruan dalam keputusan yang telah dibuatnya.

Pola aksi seperti ini, tentunya berbeda dengan 1998 yang lebih konfrontatif. Namun apakah gaya seperti ini salah? Tentu tidak, justru pola seperti inilah yang diperlukan.

Istilah dalam dunia percintaan, menaklukan hati seorang wanita tak begitu sulit. Namun merawat dan memelihara hati itu justru sangat berat.

Mahasiswa 1998 telah menaklukan orde baru dan memberikan reformasi. Kini biarlah mahasiswa milenial, merawat itu dengan gayanya sendiri.

Buat kamu, jangan pernah ganggu diriku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun