Deni melihat pemerintah sangat memanjakan bank-bank pemerintah. Tidak satu pun dari bank pemerintah yang dilikuidasi (BDL) atau dibekukan (BBKU/BBO). Sebaliknya, bank pemerintah yang mau ambruk justru dimerger dan kemudian direkapitalisasi modalnya. "Seolah-olah bank pemerintah itu bersih, tidak pernah salah di bidang perbankan," tambahnya.
Menurut Deni, penerima BLBI terbesar adalah Bank Exim sebesar Rp101,847 triliun, lalu Bapindo Rp40,396 triliun, BDN Rp8,673 triliun, dan BBD Rp11,279 triliun. "Kalau mau jujur, belum tentu bank pemerintah itu bisa lebih baik dibanding bank swasta. Repotnya lagi, sampai saat ini tidak ada satu pun dari direksi dan komisaris bank pemerintah yang dicekal atau dimintakan tanggung jawab seperti yang terjadi pada bank swasta," sesal Deni.
Deni juga menyoroti terlalu mudahnya proses penyaluran dana BLBI ke bank-bank persero itu. Menurut ceritanya, cukup kerja sama dan saling percaya untuk menyimpan rahasia antara pejabat BI dan pemilik bank, termasuk bagi-bagi "kue". Ada pula cara lain, katanya. Misalnya pejabat BI memberikan fasilitas terlebih dahulu, baru beberapa hari kemudian dibuatkan akta perjanjian fasilitasnya. Lebih ironis lagi, kata Deni, BI tahu persis jumlah jaminan bank pemerintah lebih kecil dari dana BLBI yang diberikan, tapi pejabat BI masih memberikan bantuan dana BLBI dalam jumlah tinggi. "Ini kan aneh," ucap Deni masygul.
"Hantu"
Misteri BLBI di perbakan pemerintah masih menghantui kita. Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan terbuka dan gamblang. Apalagi, sampai saat ini alokasi dana dalam APBN untuk membayar bunga dan obligasi rekapitalisasi perbakan sangat besar. Tapi, persoalan ini memang penuh misteri. Kenapa?
Bayangkan. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Budiardjo Judono (waktu itu), mengaku tidak mengetahui adanya penyaluran BLBI ke bank pemerintah sebesar Rp 175 triliun. "Kalau ada dana BLBI yang disalurkan ke bank pemerintah sebesar itu, BPK tidak tahu. Silakan tanya kepada yang memberikan data. Kami di sini hanya bertugas memeriksa, bukan mengambil kebijakan," kata  Judono (Billy) seperti dikutip Media Indonesia.
Billy menegaskan, pengucuran dana BLBI adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. "Karena semua yang terjadi pada waktu itu adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Di luar kebijakan pemerintah adalah tanggung jawab BI, "katanya.
Kita tidak tahu apakah setelah itu BPK sudah melakukan pemeriksaan terhadap BLBI bank-bank pemerintah. Sebaliknya, BPK memeriksa berkali-kali obligor BLBI swasta. Misalnya, terkait BLBI-BDNI, auditor negara itu telah melakukan pemeriksaan pada tahun 2002 dan 2006. Bahkan pada 2017 atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan lagi audit investigatif BPK.
Alangkah bedanya perlakuan pemerintah. Seharusnya, pemerintah mengambil peran, misalnya, meminta BPK melakukan audit investigatif terhadap penyaluran BLBI bank-bank pelat merah, kemudian menjelaskannya kepada publik. Kalau tidak, perkara BLBI akan terus menjadi "hantu" yang menyimpan misteri.
Pemerintah tidak boleh diam karena segala keputusan masa lalu bersifat sah dan mengikat. Pemerintah tidak boleh diam, termasuk atas janji-janji dan komitmennya kepada pemegang saham bank yang kooperatif menandatangani MSAA.Â
Seorang penandatangan MSAA, Sjamsul Nursalim, kini dikejar KPK dan dijadikan tersangka, padahal pemerintah sudah memberikan Release and Discharge (R&D) yang membebaskannya dari segala tuntutan pidana.