Mohon tunggu...
Samin Botanri
Samin Botanri Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Darussalam Ambon

Saya PNS Kementarian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada Kantor LLDIKTI Wilayah XII dipekerjaan pada Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Darussalam Ambon. Pendidikan S1 dari Universitas Pattimura Ambon dalam bidang Pertanian, S2 Universitas Brawijaya Malang dalam bidang Pengelolaan Tanah dan Air dan S3 IPB Bogor, dalam bidang Ekologi Tumbuhan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Sasi Suatu Kearifan Lokal dalam Pelestarian Sumber Daya Hutan di Maluku

13 Agustus 2023   20:37 Diperbarui: 13 Agustus 2023   22:02 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kearifan lokal ‘Sasi’ merupakan suatu tradisi masyarakat negeri atau desa adat di Maluku, dibentuk dengan maksud untuk menjaga dan melestarikan potensi sumber daya alam, baik sumberdaya alam hayati maupun non hayati. Sasi berfungsi sebagai wadah pengamanan  terhadap  sumber  daya  alam  dan  lingkungan  untuk  membentuk  sikap  dan perilaku masyarakat, merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat dan melestarikan sumber daya alam. 

Sebagai suatu tradisi budaya, sasi juga dianggap sebagai suatu tatanan hukum adat yaitu ketentuan yang mengartur tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu hasil dalam suatu kawasan tertentu dan  dalam  jangka  waktu  tertentu  pula (Warawarin et al. 2017). Sasi juga dianggap sebagai suatu budaya masyarakat Maluku yang berisikan norma yang mengarahkan hak kepemilikan sumberdaya alam untuk dikelola secara bersama oleh masyarakat negeri, dan dianggap sebagai suatu kearifan lokal yang tumbuh dan terpelihara sejak masa lampau (Sangadji, 2010).

Kearifan lokal masyarakat adat sasi ada dalam pengelolaan sumberdaya alam di Maluku mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan. Selalu ada keseimbangan antara manusia dan alam sekitarnya. Di berbagai desa atau negeri masih banyak terdapat masyarakat hukum adat, terdapat kearifan local budaya yang sangat kental dalam pengelolaan sumberdaya alamnya terutama yang berbasis lingkungan. Budaya sasi, yang masih terpelihara sampai dengan saat ini adalah salah satu wujud nyata pengelolaan sumberdaya alam berbasis lingkungan (Rugebregt, 2013).

Menurut Lokollo (1988) sebagaimana yang dikutib oleh Hijjang (2012) dikatakan bahwa sasi merupakan pranata (aturan) yang sudah lama berlaku di Maluku, ketentuan ini telah ada sejak dahulu kala, tidak jelas sejak kapan sasi itu mulai dikenal, karena data dan informasi yang autentik tentang hal itu tidak diketemukan. 

Menurut cerita rakyat khususnya di Haruku, pranata ini diperkirakan telah dikenal sejak tahun 1600. Diuraikan pula bahwa sasi di Maluku dapat ditemukan dibeberap daerah seperti di Pulau Buru, Ambon, Seram, dan Lease, Pulau-Pulau Watubela, kepulauan Kei dan Aru, kepulauan di Barat Daya Maluku, kepulauan Maluku Tenggara, dan di Pulau Halmahera.

Menurut   Pattinama   dan   Pattipeilohy   (2003),   sasi   merupakan   tradisi masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat miliki  nilai  hukum,  karena  memiliki  norma  dan  aturan  yang  berhubungan dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norrma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari hukum adat tersebut sebagai berikut: (a) Penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan. (b) Mencegah timbulnya sengketa antara sesama negeri. (c) Pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan bersama. (d) Kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat. (e) Mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.

Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat  (Biley dan Zerner, 1992; Etlegar, 2013). Sasi adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya kelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati. Sasi  merupakan  bentuk  aturan  pengelolan  sumberdaya  alam  berbasis masyarakat  yang  telah  dilakukan  oleh  masyarakat  pedesaan  di  Maluku. 

Sasi rupakan kearifan lokal tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mpertahankan  nilai-nilai  lama  dalam  menjaga  kelestarian  lingkungan  yang sudah berkembang sejak abad XVII. Sasi  sebenarnya  tidak  tergolong  kepada  katagori  kata  yang  mempunyai makna larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun, 2006). Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang sama-sama membuat institusi sasi mengikat.

Upaya pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat Maluku sudah di laksanakan sejak dulu. Hal ini dibuktikan dengan salah satu budaya masyarakat Maluku yang melarang pengambilan hasil-hasil potensi tertentu dengan atau tanpa merusak lingkungan. Kegiatan larangan pengambi lan hasil-hasil potensi ini oleh masyarakat Maluku di kenal dengan sebutan ”SASI”. 

Sasi merupakan suatu tradisi masyarakat negeri di Maluku, untuk menjaga hasil-hasil potensi tertentu. Bila sasi dilaksanakan, maka  masyarakat  dilarang  untuk  memetik  buah-buah tertentu di darat dan mengambil hasil tertentu dari laut selama jangka waktu yang ditetapkan oleh pemerintah desa (Frank L. Cooley, 1987; Judge et al. 2008).

Lokollo (1988) menjelaskan bahwa sasi itu sendiri secara harafiah berarti larangan.  Suatu benda atau barang disasi berarti benda tersebut dilarang diganggu, dilarang untuk dirusak atau diambil.  Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.  

Jika dilihat dari hukum adat sasi, sasi yang mula-mula ada adalah sasi tetaw, sasi walut, dan sasi mitu. Ketiganya adalah aturan adat untuk melindungi sumberdaya milik perorangan yang ada di darat, yaitu sasi tetaw  adalah untuk melindungi pohon sagu milik perorangan, sasi walut untuk melindungi suatu wilayah (kebun) milik perorangan yang banyak ditumbuhi pohon sagu, dan sasi mitu yaitu untuk menandai tempat yang dianggap suci dan sebagai larangan untuk mengambil buah-buhan alami dari pohon.

Kearifan lokal seperti halnya sasi tidak hanya ditemukan di Maluku, tetapi di wilayah lain pun terdapat kearifan lokal yang memiliki nama lain tetapi mempunyai fungsi dan peran yang serupa dengan sasi. Di Yogyakarta dikenal kearifan lokal Hamemayu Hayunung Bawana, merupakan suatu pranata social dalam masyarakat yang tumbuh dan tetap masih dipelihara sampai saat ini, yaitu yang berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya alam sehingga pepohonan dan kondisi lingkungan tetap terpelihara yang sekalgus merupakan daya tarik wisata ke Yogyakarta (Vitasurya, 2015). 

Kearifan lokal lancing kuning di Sumatera sebagimana yang diuraikan oleh Samin (2018) dijelaskan bahwa lancang kuning memiliki berbagai dimensi dalam tatanan adat melayu, yang mencakup lancang kuning dalam nyanyian, lancang kuning dalam tarian, dan lancing kuning dalam pengobatan.  

Sasi sebagai suatu budaya sekaligus sebagai hukum adat yang tumbuh dan terpelihara di dalam masyarakat Maluku berhubungan dengan struktur adat masyarakat itu sendiri. Dalam struktur masyarakat adat Maluku kewenangan pengawasan sasi berada di struktur Kewang. bKewang adalah suatu jabatan dalam tradisi Maluku yang tugasnya adalah melakukan perlindungan dan konservasi terhadap sumberdaya alam yang ada di negeri yang bersangkutan. 

Kewang bertanggungjawab terhadap Tuhan, raja negeri dan rakyatnya. Beban pemeliharaan kelestarian dan kebersihan negeri berada di pundak anggota-anggota kewang. Kewang secara umum dibagi atas kewang darat dan kewang laut. Perbedaan kedua jenis kewang ini adalah wilayah operasi konservasi dan perlindungan, bilamana kewang darat bertugas melakukan konservasi atas sumber daya alam di darat seperti mensasi sumber air, mensasi hutan bambu dll. Sedangkan kewang laut bertugas melakukan konservasi atas sumber daya alam di laut seperti mensasi populasi ikan, mensasi terumbu karang, mensasi pantai, dll.

Penerapan sasi sebagai aturan adat diakomodir melalui suatu lembaga adat, yang khususnya di Maluku Tengah dikenal dengan kewang bersama-sama dengan raja. Lokollo (1988) dan Hijjang (2012) menyebutkan bahwa dalam hukum adat di Maluku, khususnya dalam hukum sasi dikenal perangkat tetap lembaga kewang seperti : raja, kepala kewang, atau kewang besar, anak kewang atau kewang, marinyo, rapat saniri negeri, tuan tanah, dan kasisi negeri. 

Dalam urutan sasi, maka kewang (kewang besar) dan anak-anak kewang (kewang) mempunyai peranan yang sangat penting. Tugas sehari-hari kewang adalah melakukan pengawasan di wilayah petuanan darat maupun laut dan juga di wilayah pemukiman. 

Jika terjadi pelanggaran sasi, baik sasi hutan, laut, maupun sasi negeri, mereka berkewajiban melaporkan  kepada kepala kewang dengan menghadirkan pelanggarnya di dalam rapat tersebut. Hukum sasi terbagi atas dua macam, yaitu hukum sasi adat dan hukum sasi denda. Hukum sasi adat adalah perbuatan yang dapat di pidana, sedangkan hukum sasi denda adalah sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara kewang mempergunakannya, dalam hal ini kewenangannya untuk menerapkan pidana.

Sasi  di  Maluku merupakan bentuk pengaturan internal (self regulatory) pada masyarakat Maluku. Sasi berfungsi   sebagai   pijakan   atau   pedoman dalam bersikap dan bertindak, baik dalam berinteraksi ditengah-tengah masyarakat maupun pengolalaan lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam. Karena kebutuhan manusia akan sumberdaya  alam  itu  terus  menerus meningkat, karena jumlah penduduk yang bertambah dan meningkatnya jumlah kebutuhan serta pembangunan di Maluku berpangaruh pada keberadaan dan fungsi sasi.

Sasi tidak dapat lagi berjalan secara efektif sebagai pedoman bersikap dan bersikap guna mewujudkan kelestarian lingkungan alam dan keserasian masyarakat. Padahal sasi merupakan salah satu kearifan lokal sosial masyarakat Maluku termasuk di negeri-negeri di Maluku untuk menjaga kelestarian lingkungan (Sahusilawane  et  al.  2004).

Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi et al. (2014) didapatkan bahwa sasi merupakan suatu kearifan lokal dan tradisi masyarakat negeri di Maluku terutama di wilayah Kabupaten Maluku Tengah.  Sasi dibentuk dengan tujuan untuk menjaga dan melestarikan hasil-hasil potensi sumber daya alam. Pada tataran praktis, dalam Peraturan desa, fungsi sasi adalah sebagai wadah pengamanan  terhadap  sumber  daya  alam  dan  lingkungan  untuk  membentuk  sikap  dan perilaku masyarakat yang merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat dan melestarikan sumber daya alam. 

Dengan kata lain, masyarakat juga diberikan kesempatan untuk memanfaatkan hasil bumi mereka dengan pertimbangan 1). Hasil hutan dan laut yang diambil atau ditangkap harus di luar wilayah yang sementara disasi atau tidak dilarang; 2). Masyarakat hanya diberikan kesempatan untuk mengambil hasil hutan dan laut pada saat sasi semantara dibuka atau diperkenankan untuk diambil, yakni sesuai dengan Batas waktu yang ditentukan sejak sasi ditutup diberlakukan larangan antara tiga sampai enam bulan.

Harkes dan Novaczek  (2002) menyatakan bahwa sejak abad ke-16 sumberdaya di Maluku telah dikelola dengan suatu bentuk kearifan lokal yang dikenal dengan sebutan sasi. Dengan budaya ini, maka secara temporal dan spasial penebangan atau pemotongan pohon di hutan atau pemanenan hasil hutan, pemanenan hasil laut di kawasa perairan (marine) diatur dengan regulasi atau ketentuan ini. Ketentuan ini dipergunakan sebagai suatu regulasi sebagai suatu  mekanisme dalam menjamin konservasi  sumberdaya alam, sehingga berbagai poternsi yang dimiliki di wiklayah pedesaan tetap terpelihara untuk generasi yang berikutnya.

Dalam pelestarain sumberdaya alam hayati, baik di darat mupun di laut dalam tataan kehidupan masyarakat adat Maluku melalui penerapan sasi  telah dipraktekan sejak masa lampau, sampai dengan masa sekarang ini. Di wilayah daratan sasi diterapkan dalam melestarikan fungsi hutan dan pertanian budidaya. Di dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa hutan adalah merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati  yang  didominasi  pepohonan  dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 

Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Hutan merupakan salah sumberdaya alam yang harus dilindungi dan dilestarikan bagi generasi masa kini dan generasi masa yang akan datang. Syaprilla, (2015) menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu kekayaan alam terbesar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hutan menjadi modal pembangunan nasional dan penghidupan masyarakat, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis.  Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi, dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. 

Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan asas pembangunan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan (just and sustainable yield principle). Asas ini meletakan masyarakat sebagai subjek dalam kegiatan pengelolaan hutan secara aktif dan intersistem.

Pemanafaatan potensi hasil hutan dalam kaitannya dengan sasi, tidak dilarang untuk tidak boleh dimanaafatkan tetapi dapat digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kehidupan dengan suatu tata aturan yang mengikat. Bahwa pemanfaatan hasil hutan dibolehkan  dengan ketentuan atau kearifan lokal yang disebut sasi ini, namun pemanfaatannya harus dilakukan dengan kaidah-kaidah yang ditentukan.

Etlegar (2013) menjelaskan dalam hasil penelitiannya yang dilakukan di Negeri Alang Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, bahwa dalam pemanfaatan hasil hutan dalam pola dusun sebagai suatu bentuk agroforestry dapat dimanfaatkan pada waktu-waktu dimana hasil dari dusun itu telah layak untuk dipanen. Misalnya panen kelapa dan hasil lainnya dalam kawasan dusun baru dapat dilakukan setelah pelarangan untuk dipanen dalam periode sekitar 6 bulan.  

Pada masa sebelum itu, tidak diperkenankan untuk dilakukan pemanenan.  Apabila hendak dilakukan pemanen pada masa sasi atau periode sasi, maka harus melalui persetujuan pemerintah negeri, itupun pemanen untuk keperluan nyang sangat penting dengan jumlah yang terbetas. Persetujuan untuk dilakukan pemanen sekurang-kurang harus mendapat persetujuan dari kewang atau saniri negeri.

Judge dan Nurizka (2008) menytakan bahwa dalam   menjaga   kelestarian   lingkungan yang saat ini banyak terjadi kerusakan lingkungan akibat perbuatan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan lingkungan yang dimasudkan dapat berupa kerusakan terhadap sumberdaya hutan. Dalam hubungan itu, maka adat sasi dapat berperan untuk mencegahnya.  Sasi  merupakan  perpaduan  antara adat dan agama serta sasi juga adalah suatu adat yang sakral. Hal ini dapat dilihat pada saat pelaksanaan  sasi  yang  selalu  diawali  dengan  doa-doa, juga diberlakukan sanksi bagi yang melanggar larangan  itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan pemanenan hasil hutan lain seperti penebangan pohon hutan, diyakini tentu akan efektif, misalnya pada hutan sekunder tidak dibolehkan untuk dilakukan pemanenan apabila ukuran pohon atau tegakan pohon belum memiliki diameter yang layak untuk dilakukan pemanenan, sehingga kelestarian hutan tetap dapat terpelihara. Pemanen hasil hutan yang lain seperti damar, itu yang diambil getah damarnya, bukan dengan cara menabang pohonnya, maka dengan cara seperti ini dapat dijamin kelesarian sumberdaya hutan dimaksud untuk keperluan jangka panjang.  

Dengan kata lain bahwa hutan dapat tetap memberi hasil secara lestari bagi generasi yang akan datang. Pengelolaan hutan seperti ini sangat diharapkan, dan semua itu dapat diatur dengan menggunakan pendekatan budaya adat sasi itu sendiri. Disitulah bentuk kearifan lokal sasi dalam melestarikan sumberdaya hutan kita, sehingga pemanfaatan hasil untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat dipenuhi, dilain pihak kelestarian sumbedaya lahan hutan secara ekologi dapat tetap terpelihara dengan baik dan bisa bersifat jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun