Dengan kata lain, masyarakat juga diberikan kesempatan untuk memanfaatkan hasil bumi mereka dengan pertimbangan 1). Hasil hutan dan laut yang diambil atau ditangkap harus di luar wilayah yang sementara disasi atau tidak dilarang; 2). Masyarakat hanya diberikan kesempatan untuk mengambil hasil hutan dan laut pada saat sasi semantara dibuka atau diperkenankan untuk diambil, yakni sesuai dengan Batas waktu yang ditentukan sejak sasi ditutup diberlakukan larangan antara tiga sampai enam bulan.
Harkes dan Novaczek  (2002) menyatakan bahwa sejak abad ke-16 sumberdaya di Maluku telah dikelola dengan suatu bentuk kearifan lokal yang dikenal dengan sebutan sasi. Dengan budaya ini, maka secara temporal dan spasial penebangan atau pemotongan pohon di hutan atau pemanenan hasil hutan, pemanenan hasil laut di kawasa perairan (marine) diatur dengan regulasi atau ketentuan ini. Ketentuan ini dipergunakan sebagai suatu regulasi sebagai suatu  mekanisme dalam menjamin konservasi  sumberdaya alam, sehingga berbagai poternsi yang dimiliki di wiklayah pedesaan tetap terpelihara untuk generasi yang berikutnya.
Dalam pelestarain sumberdaya alam hayati, baik di darat mupun di laut dalam tataan kehidupan masyarakat adat Maluku melalui penerapan sasi  telah dipraktekan sejak masa lampau, sampai dengan masa sekarang ini. Di wilayah daratan sasi diterapkan dalam melestarikan fungsi hutan dan pertanian budidaya. Di dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa hutan adalah merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati  yang  didominasi  pepohonan  dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.Â
Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Hutan merupakan salah sumberdaya alam yang harus dilindungi dan dilestarikan bagi generasi masa kini dan generasi masa yang akan datang. Syaprilla, (2015) menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu kekayaan alam terbesar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hutan menjadi modal pembangunan nasional dan penghidupan masyarakat, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi secara seimbang dan dinamis. Â Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi, dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.Â
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan asas pembangunan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan (just and sustainable yield principle). Asas ini meletakan masyarakat sebagai subjek dalam kegiatan pengelolaan hutan secara aktif dan intersistem.
Pemanafaatan potensi hasil hutan dalam kaitannya dengan sasi, tidak dilarang untuk tidak boleh dimanaafatkan tetapi dapat digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kehidupan dengan suatu tata aturan yang mengikat. Bahwa pemanfaatan hasil hutan dibolehkan  dengan ketentuan atau kearifan lokal yang disebut sasi ini, namun pemanfaatannya harus dilakukan dengan kaidah-kaidah yang ditentukan.
Etlegar (2013) menjelaskan dalam hasil penelitiannya yang dilakukan di Negeri Alang Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, bahwa dalam pemanfaatan hasil hutan dalam pola dusun sebagai suatu bentuk agroforestry dapat dimanfaatkan pada waktu-waktu dimana hasil dari dusun itu telah layak untuk dipanen. Misalnya panen kelapa dan hasil lainnya dalam kawasan dusun baru dapat dilakukan setelah pelarangan untuk dipanen dalam periode sekitar 6 bulan. Â
Pada masa sebelum itu, tidak diperkenankan untuk dilakukan pemanenan. Â Apabila hendak dilakukan pemanen pada masa sasi atau periode sasi, maka harus melalui persetujuan pemerintah negeri, itupun pemanen untuk keperluan nyang sangat penting dengan jumlah yang terbetas. Persetujuan untuk dilakukan pemanen sekurang-kurang harus mendapat persetujuan dari kewang atau saniri negeri.
Judge dan Nurizka (2008) menytakan bahwa dalam  menjaga  kelestarian  lingkungan yang saat ini banyak terjadi kerusakan lingkungan akibat perbuatan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan lingkungan yang dimasudkan dapat berupa kerusakan terhadap sumberdaya hutan. Dalam hubungan itu, maka adat sasi dapat berperan untuk mencegahnya.  Sasi  merupakan  perpaduan  antara adat dan agama serta sasi juga adalah suatu adat yang sakral. Hal ini dapat dilihat pada saat pelaksanaan  sasi  yang  selalu  diawali  dengan  doa-doa, juga diberlakukan sanksi bagi yang melanggar larangan  itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan pemanenan hasil hutan lain seperti penebangan pohon hutan, diyakini tentu akan efektif, misalnya pada hutan sekunder tidak dibolehkan untuk dilakukan pemanenan apabila ukuran pohon atau tegakan pohon belum memiliki diameter yang layak untuk dilakukan pemanenan, sehingga kelestarian hutan tetap dapat terpelihara. Pemanen hasil hutan yang lain seperti damar, itu yang diambil getah damarnya, bukan dengan cara menabang pohonnya, maka dengan cara seperti ini dapat dijamin kelesarian sumberdaya hutan dimaksud untuk keperluan jangka panjang. Â