Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Brutalitas Politik Amerika

14 Juli 2024   22:14 Diperbarui: 14 Juli 2024   22:49 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ditembak! Begitu berita media asing pagi tadi.

Saya tersentak dari tempat tidur. Syukurnya, peluru meleset dari kepala Trump. Hanya telinga kanannya yang terserempet anak pelor. Saya memutar video di YouTube untuk menonton kejadian di Butler, Pennsylvania, tersebut.

Melihat videonya, tidak ragu saya mengatakan bahwa selamatnya Trump adalah mukjizat. Penembak telah mengeker senjatanya tepat ke arah kepala. Andai kepala Trump tak miring beberapa milimeter, otaknya pasti pecah dan sosok kontroversial itu sudah ke alam baka. Trump sendiri meyakini penyertaan ilahi dalam keselamatannya.

"Adalah Tuhan sendiri yang mencegah hal yang tak terpikirkan terjadi," kata Trump di akun Truth Social-nya.

Politik Amerika memang lagi panas-panasnya. Trump sudah memenangi pemilihan pendahuluan Partai Republiken, tinggal menunggu nominasi resmi di acara konvensi partai minggu depan di Wisconsin. Lawannya dalam Pilpres 2024 juga sudah jelas, petahana Joe Biden dari Partai Demokrat.

Penembakan Trump bertempat di sebuah reli---kampanye rapat umum istilah Indonesia-nya. Sekelebat, orang-orang akan menghubungkan lawan politik dengan peristiwa tersebut. Mungkin sadar karena hal itu, Biden langsung menggelar konferensi pers untuk mengutuk penembakan pendahulunya tersebut.

Jika membaca sejarah Amerika, penembakan terhadap presiden bukanlah sesuatu yang baru. Sosok legendaris seperti Abraham Lincoln (1865) dan John F. Kennedy (1963) harus kehilangan nyawa setelah tubuh mereka diterjang peluru. Ronald Reagan (1981) juga hampir tewas setelah luka parah akibat ditembak di dada.

Usaha untuk memampuskan seorang presiden pasti terkait dengan kebencian atas kebijakannya. Lincoln, misalnya, menghapus perbudakan yang menyulut amarah penduduk di bagian selatan Amerika. Yang agak kurang jelas sampai sekarang adalah motivasi pembunuh Kennedy. Gara-gara kesamaran ini, terdapat pihak yang menghubungkan kematian Kennedy sebagai konspirasi internal pemerintah.

Rentannya presiden Amerika terbunuh membuat proteksi semakin ketat. Secret Service, Paspampres-nya Amerika, melakukan perlindungan berlapis terhadap sang komandan tertinggi. Bahkan, mantan presiden seperti Trump pun masih dikawal agen rahasia tersebut.

Meski demikian, tentu saja, perlindungan terhadap seorang mantan presiden akan kalah ketat dari petahana. Para komentator politik Amerika mencaci Secret Service begitu kasus penembakan di Pennsylvania menyebar di media. Syukurnya, Trump sendiri dalam komentar di Truth Social berterima kasih kepada para pengawalnya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun