Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Menilai Keprajuritan Tono

22 Desember 2012   08:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:12 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Bersyukurlah Ketua Umum KONI Tono Suratman sudah pensiun sebagai prajurit TNI. Jika masih prajurit dia pasti berkeyakinan bahwa pengunduran diri Rahmad Darmawan sebagai pelatih timnas U-23 tahun lalu adalah sebuah sikap pembangkangan. Saat itu RD mengundurkan diri padahal kemampuannya sebagai pelatih masih dibutuhkan oleh negara.

Dalam dunia militer kepatuhan pada atasan menjadi harga mati. Dalam situasi darurat perang, seorang prajurit bahkan bisa dijatuhi hukuman mati. Sekalipun alasan dia membangkang berdasarkan nilai-nilai kebenaran, tapi dalam dunia militer disiplin dan kepatuhan tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini juga ditekankan oleh TNI dalam Sumpah Prajurit dan Sapta Marga untuk "taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan".

Bisa dikatakan Tono Suratman dulu orang yang menugaskan RD untuk melatih timnas U-23. Saat itu ketika Nurdin dipecat oleh FIFA, maka KONI lewat Satlak Prima yang dipimpin Tono mengambil alih timnas U-23 untuk menghadapi SEA Games. Pada awalanya sempat terjadi perselisihan dengan Riedl yang ngotot menangani timnas U-23 sesuai dengan kesepakatan kontrak (dengan Nirwan Bakrie?).

Tapi kemudian PSSI di bawah Djohar Arifin yang baru terpilih menyelamatkan muka Tono dan RD. Kontrak Rield langsung diputus, dan timnas senior ditangani oleh Wim Rijsbergen yang dibantuk RD. Kolaborasi mereka berdua menuai sukses di babak Pra Piala Dunia yang meloloskan Indonesia ke fase grup. Jalan RD di timnas U-23 kian lapang karena PSSI lewat Komek sepakat dengan keputusan KONI yang memilih RD.

Timnas U-23 kemudian mendapat kalungan medali perak, medali pertama sejak 1997. Tapi bersamaan dengan itu PSSI dirongrong oleh segelintir pihak yang menggugat pemutusan kontrak Rield dan promosi enam tim secara "gratis". Seperti kita tahu ujung-ujungnya adalah pecahnya kompetisi. PSSI kemudian melarang pemain liga tandingan ikut timnas, tentu untuk menyelamatkan muka dan wibawa mereka. Tapi yang menyedihkan bagi PSSI adalah Rahmad Darmawan yang harusnya berterima kasih kepada PSSI malah balik badan dan bergabung dengan klub ISL.

Setahun lalu banyak orang di kompasiana yang mengejek tindakan RD tersebut. Seperti biasa timbul pulalah cacimaki dan hinaan dan bahkan ada yang meragukan kemampuan RD. Tapi tak kalah banyak juga yang memuji-muji sikap RD yang bersedia mundur sehingga patut dijadikan teladan dalam kepemimpinan politik.

Pengalaman mesra Tono-RD ini ingin dilanjutkan lagi oleh Tono yang kini naik pangkat sebagai Ketum KONI. Bagi Tono pengunduran diri RD setahun lalu bukan dirasa pembangkangan terhadap dirinya. Pengunduran diri RD adalah kepada dan karena PSSI. Kita sudah dengar berita tentang rencana KONI mengambil alih timnas U-23 dan berencana menempatkan RD sebagai pelatih.

Dari sudut olahraga dan profesionalisme ini sah-sah saja. Yang menjadi persoalan adalah apakah sikap Tono dapat dikatakan bijak? Satu setengah tahun lalu barangkali iya. Saat itu keadaan memang memungkinkan karena kevakuman PSSI. Yang lebih menguntungkan lagi PSSI juga setuju dengan pilihan KONI.

Tapi sekarang situasinya berbeda. PSSI tidak vakum dan sudah ada pelatih tetap yang menangani timnas U-23 yakni Aji Santoso. Lagipula Aji bukan pelatih kemarin sore dan tidak sedang mengemban tugas ganda sebagai pelatih timnas senior. Ini berbeda ketika zaman Riedl dulu yang juga pelatih timnas senior.

Jika waktu itu menurut aturann FIFA Satlak Prima intervensi, maka segera intervensi itu direstui dengan keputusan Komek. Sekarang, KONI bisa dikatakan melakukan intervensi karena keputusan mereka tidak melalui Komek PSSI.

Barangkali perdebatan soal hukum akan panjang. Tapi jika ditinjau dari sisi etika pun wacana KONI sudah keliru. Dikatakan keliru karena KONI telah mengadu domba dua pelatih profesional. Bagaimanapun Aji Santoso pasti tersinggung karena kemampuannya diremehkan. Padahal dengan tim seadanya, dia berhasil membawa timnas tampil lumayan di kualifikasi Piala Asia U-22. Sebuah keberanian yang patut dipuji.

Dengan kata lain KONI telah ikut dalam permainan pecah belah. Ini mirip dengan yang dilakukan oleh KPSI di timnas senior. Masih belum lama berlalu bagaimana mereka berencana mengadu timnas berdasarkan kompetisi, meremehkan kemampuan Nil Maizar sebagai pelatih, dan sebagainya. Tindakan ini tidak mungkin dilakukan orang yang mengerti olahraga, meskipun biasa dalam politik.

Politik pecah belah sangat dibenci dalam dunia militer. Tono Suratman pasti pernah mendengar cerita senior-seniornya tentang TNI di zaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu Bung Karno dianggap memecah-belah tentara karena suka mengintervensi jabatan-jabatan vital. Ini dilakukan supaya Bung Karno bisa mengendalikan TNI  agar jangan sampai mengkudeta dirinya. Pada masa Suharto persatuan di kalangan tentara berhasil dijaga meskipun disalahgunakan untuk mendukung kediktatorannya.

Tono pasti digembleng dalam suasana kepatuhan seperti itu. Karena itu agak aneh kalau sifat tersebut tidak dibawa ketika dia pensiun dan terlibat dalam dunia olahraga. Bahkan dalam konflik PSSI, KONI mendukung salah satu pihak yang bertikai yaitu KPSI. KONI tidak mendamaikan konflik, tapi justru menjadi bagian dari konflik itu sendiri.

Tentu saja Tono akan beralasan hal itu dilakukan demi bangsa, supaya timnas bisa dibela putra-putra terbaik, dan sebagainya. Apapun alasannya Tono dan KONI telah bermain dalam konflik. Jika Tono benar-benar mau menyelesaikan konflik, gunakanlah cara-cara tentara: segera bekukan kepengurusan PSSI. Sudah pasti Indonesia akan dihukum oleh FIFA. Tapi ini harga yang pantas demi menjaga PSSI dari perpecahan.

Tono sudah 30 tahun lebih jadi prajurit dan wajar apabila dia menampakkan gaya-gaya tentara. Akan menjadi aneh jika Tono lebih menunjukkan tingkah polah politisi yang suka memecah belah. Orang-orang akan menyindir: masa bergaul beberapa bulan dengan politisi-politisi KPSI bisa mengubah pengalaman puluhan tahun sebagai tentara?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun