Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Nasib Tragis Persema

20 April 2012   09:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:23 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persatuan Sepak Bola Malang atau Persema adalah salah satu klub penggerak revolusi PSSI. Tapi bagi segelintir orang yang kemudian memperoleh kekuasaan di PSSI, jasanya yang besar itu dibalas dengan cacian: abal-abal, gratisan, bukan anggota, dan sebagainya. Padahal tanpa klub ini, orang yang bersangkutan mungkin masih di dunia antah-berantah dan tidak dikenal orang.

Tapi sudahlah, tidak ada gunanya menyebut orang-orang tersebut. Lagi pula, mereka sudah kembali ke haribaan tuan yang sesungguhnya. Mencari kendaraan lain yang bisa ditumpangi untuk kepentingan pribadinya.

Jasa besar Persema sebenarnya terlalu kecil jika cuma dihargai  dengan kembali bermain di kasta tertinggi sepak bola. Dalam revolusi yang lazim di dunia ini, para penggerak revolusi biasanya selalu mendapat tempat terhormat. Sekalipun misalnya kemudian disingkirkan, tapi tokoh itu kemudian akan dianggap pahlawan. Sangat jauh dari caci maki dan buruk sangka.

Tapi inilah yang aneh dalam revolusi PSSI. Sering mengumbar kata-kata revolusi, tapi tidak paham revolusi itu binatang apa. Justru anehnya, orang-orang yang mengaku-ngaku ikut revolusi, tapi ngotot kembali memakai aturan-aturan keliru yang lahir di era sebelumnya.

Kalau memang inginnya kembali ke aturan atau kebiasaan lama, itu namanya RESTORASI. Ini mungkin salah satunya disebabkan kesalahan Partai Nasdem yang tidak pernah membuat definisi apa itu "restorasi" yang dijadikannya sebagai slogan. Jadi orang sama sekali tidak paham apa maksudnya, meski iklannya sangat masif di media massa.

Saya pikir pendukung PSSI dulu menggunakan kata "revolusi" karena paham benar apa artinya. Mereka konsisten dengan sampai sekarag. Jadi amat aneh kalau sampai ada orang yang mengatakan para pendukung PSSI itu orang bayaran, malah produk konsultan pemasaran segala. Saya jadi tertawa sendiri mendengarnya. Padahal setahu saya para pendukung PSSI (sebagai hasil revolusi itu) di kompasiana ini jauuuuuuuuuuuuh sudah lama menjadi anggota kompasiana dan sudah duluuuuuuuuuuuuuan mendendangkan revolusi sebelum dikenal namanya Djohar Arifin, Arifin Panigoro, dan sebagainya.

Sekiranya kita semua mau konsisten, saya ingin menyarankan kepada kawan-kawan pendukung "PSSI" agar mulai saat ini menggunakan istilah "Restorasi PSSI" saja. Saya kira istilah ini sudah cukup bagus dan menjelaskan semua yang mereka inginkan: kembali ke Kongres Bali, kompetisi bernama ISL, penyelengara liga PT LI, dan hak siar tetap 10 miliar rupiah (sebab yang 130 miliar itu hak komersial) bahkan untuk 7 tahun mendatang, pemain asing 5 orang, dan banyak lagi. Yang tidak sama barangkali cuma satu: tidak ada Nurdin Halid.

Revolusi itu tidak tercapai tujuannya jikalau cuma kepentingan sesaat. Revolusi lahir melalui sebuah pemikiran mendalam, konsep yang matang, dan perencanaan yang rapih.  Dan itu pun hanya bisa berjalan dengan dukungan banyak orang. Tidak lagi berada dalam awang-awang sekelompok elit.

Tatkala banyak orang kemudian mendukung karena merasa kepentingannya telah sama, maka revolusi itu bisa berhasil ataupun gagal. Ada yang dibilas oleh penguasa de facto, ada juga yang kemudian mengambil alih kepemimpinan. Bagi jenis kedua, tantangan yang dihadapi jauh lebih berat. Sebab mereka harus membuktikan bahwa semua konsep yang dulu mereka tawarkan bisa terwujud. Dan ini tidak mudah.

Sekarang, pengurus PSSI tengah menghadapi hal yang berat itu. Dulu mereka gencar mengajukan konsep-konsep brilian sebagai solusi mengatasi kebobrokan rezim Nurdin Halid. Dimulai dari depolitisasi, menghilangkan korupsi, dan yang paling menarik tapi kelihatan tidak masuk akal: konsorsium, sebagai langkah awal menuju profesionalisme klub.

Konsep konsorsium dianggap tidak masuk akal karena pasti butuh biaya besar. Dengan biaya operasional klub yang sedemikian tinggi, dengan tiadanya pemasukan yang memadai, maka orang memprediksi konsorsium tidak bertahan lama. Secara otomatis, liga yang bersangkutan akan bubar dengan cepat.

Memanglah, kompetisi LPI bubar, bahkan di pertengahan musim. Tapi itu dibubarkan bukan karena uang konsorsium habis. Melainkan atas kehendak FIFA. Justru konsep konsorsium itu tetap dipertahankan dalam kompetisi baru hasil revolusi PSSI yang merupakan inggrisisasi LPI, yakni Indonesia Premier League.

Ketakutan terhadap konsorsium inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab hijrahnya klub-klub yang diberi jatah bermain di IPL, ke kompetisi mereka sebelumnya yakni ISL. Mereka bahkan mengatakan bahwa PT LPIS ingin menggunakan uang hak siar dan sponsor untuk membayar utang konsorsium PT LPI yang dulu.

Meski alasan ini tak masuk akal (karena semua klub pasti mendapat revenue sharing dan pasti diungkap ke media), nyatanya inilah yang lantas terjadi. Tapi mereka berdalih bahwa penambahan enam klub gratisan menjadi alasan utama. Dan ini menurut saya biasa, tatkala seorang memakai aturan atau hukum untuk menutup maksud mereka sebenarnya, seperti saya bahas di sini.

Hengkangnya klub-klub ke ISL ini membuat orang tambah sangsi: apakah konsorsium LPIS akan bisa berjalan mengingat magnet sponsor itu ada di ISL? Dan sedikit banyak ini menjadi kenyataan. Kita bisa melihat tidak ada sponsor besar datang sebagaimana yang dulu dijanjikan. Pendanaan PT LPIS pun murni dari MNC yang jumlahnya 150 miliar (hak siar+ hak komersial).

Jumlah sebesar ini, jika pun dibagi rata ke 12 klub kontestan IPL tidaklah mencukupi. Kecuali mungkin Semen Padang dan Arema yang memiliki sponsor dan konsorsiumnya sendiri. Padahal LPIS juga membutuhkan biaya besar untuk membiayai operasional sehari-hari, termasuk juga mendanai klub-klub Divisi Utama yang banyak jumlahnya. Sedangkan manajemen klub-klub peserta masih berada dalam alam pikiran lama (baca: amatir).

Alhasil, dalam beberapa bulan belakangan ini timbul keluhan dari klub yang tidak dapat kucuran dari dari LPIS. Hal ini berefek pada telatnya pencairan gaji pemain serta kesilitan transortasi bagi klub-klub Divisi Utama.

Salah satu klub yang mengalami kesulitan itu adalah Persema. Di koran Jawa Pos kemarin (19/4), muncul berita keluhan Manajer Persema Asmuri terkait seretnya kucuran dana. Bahkan di luar dugaan saya, dia mengatakan sebaiknya kompetisi IPL dibubarkan saja dari pada terus berada dalam situasi seperti sekarang.

Entah apa itu cuma gertak sambal atau kesungguhan hatinya saya tidak tahu. Tapi sungguh ironis, sebuah klub yang menjadi pelopor revolusi PSSI, sampai mengatakan yang sejauh itu. Padahal "kompetisi sebelah" juga tidak lebih baik. Tapi bedanya, di ISL, para kepala daerah diam-diam masih memberikan dana APBD. Ini tentu haram terjadi di kompetisi IPL.

Hal-hal seperti inilah yang menjadi cobaan besar bagi pengurus PSSI saat ini. Adalah benar bahwa klub seharusnya bisa mencari dana sendiri. Tapi adalah sebuah kenyataan pula bahwa klub-klub tersebut ikut IPL salah satunya karena konsep konsorsium yang  serasa angin surga bagi mereka. Dan pengurus PSSI mahfum akan hal ini.

Que sera-sera, what ever will be will be, kata biduanita Dorris Day, jangan sampai terus berlanjut. Seandainya dualisme tidak terjadi, mungkin masalah klub ini tidak terjadi sebab masih banyak solusi yang bisa diberikan. Hanya orang yang tak punya nuranilah yang tertawa lebar-lebar atas musibah yang menimpa klub, sekalipun bermain di liga yang "talak satu" dengan PSSI (baca: ISL).

Pada akhirnya, pelajaran yang bisa diambil dari sejarah adalah: revolusi pada prinsipnya sebuah ungkapan bahwa cara seperti ini harus jadi cara yang terakhir. Selanjutnya peralihan kepemimpinan biarkan berjalan dengan mekanisme biasa, termasuk masa jabatan dalam periode tertentu. Sebab meweujudkan cita-cita revolusi itu sungguh berat, teramat beratnya bahkan tidak bisa terwujud dalam waktu singkat.

Tapi untuk memiliki pemikiran seperti ini memang teramat susah. Kita harus memakai hati nurani yang nilainya lebih tinggi ketimbang aturan ini itu yang cuma teks tertulis. Ini bukan kata-kata saya lho, tapi teladan seorang Bismar Siregar, mantan Hakim Agung, yang meninggalkan kita semua kemarin.

Bismar-nya dunia hukum hanya segelintir, apakah di sepak bola juga? Entahlah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun