Memanglah, kompetisi LPI bubar, bahkan di pertengahan musim. Tapi itu dibubarkan bukan karena uang konsorsium habis. Melainkan atas kehendak FIFA. Justru konsep konsorsium itu tetap dipertahankan dalam kompetisi baru hasil revolusi PSSI yang merupakan inggrisisasi LPI, yakni Indonesia Premier League.
Ketakutan terhadap konsorsium inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab hijrahnya klub-klub yang diberi jatah bermain di IPL, ke kompetisi mereka sebelumnya yakni ISL. Mereka bahkan mengatakan bahwa PT LPIS ingin menggunakan uang hak siar dan sponsor untuk membayar utang konsorsium PT LPI yang dulu.
Meski alasan ini tak masuk akal (karena semua klub pasti mendapat revenue sharing dan pasti diungkap ke media), nyatanya inilah yang lantas terjadi. Tapi mereka berdalih bahwa penambahan enam klub gratisan menjadi alasan utama. Dan ini menurut saya biasa, tatkala seorang memakai aturan atau hukum untuk menutup maksud mereka sebenarnya, seperti saya bahas di sini.
Hengkangnya klub-klub ke ISL ini membuat orang tambah sangsi: apakah konsorsium LPIS akan bisa berjalan mengingat magnet sponsor itu ada di ISL? Dan sedikit banyak ini menjadi kenyataan. Kita bisa melihat tidak ada sponsor besar datang sebagaimana yang dulu dijanjikan. Pendanaan PT LPIS pun murni dari MNC yang jumlahnya 150 miliar (hak siar+ hak komersial).
Jumlah sebesar ini, jika pun dibagi rata ke 12 klub kontestan IPL tidaklah mencukupi. Kecuali mungkin Semen Padang dan Arema yang memiliki sponsor dan konsorsiumnya sendiri. Padahal LPIS juga membutuhkan biaya besar untuk membiayai operasional sehari-hari, termasuk juga mendanai klub-klub Divisi Utama yang banyak jumlahnya. Sedangkan manajemen klub-klub peserta masih berada dalam alam pikiran lama (baca: amatir).
Alhasil, dalam beberapa bulan belakangan ini timbul keluhan dari klub yang tidak dapat kucuran dari dari LPIS. Hal ini berefek pada telatnya pencairan gaji pemain serta kesilitan transortasi bagi klub-klub Divisi Utama.
Salah satu klub yang mengalami kesulitan itu adalah Persema. Di koran Jawa Pos kemarin (19/4), muncul berita keluhan Manajer Persema Asmuri terkait seretnya kucuran dana. Bahkan di luar dugaan saya, dia mengatakan sebaiknya kompetisi IPL dibubarkan saja dari pada terus berada dalam situasi seperti sekarang.
Entah apa itu cuma gertak sambal atau kesungguhan hatinya saya tidak tahu. Tapi sungguh ironis, sebuah klub yang menjadi pelopor revolusi PSSI, sampai mengatakan yang sejauh itu. Padahal "kompetisi sebelah" juga tidak lebih baik. Tapi bedanya, di ISL, para kepala daerah diam-diam masih memberikan dana APBD. Ini tentu haram terjadi di kompetisi IPL.
Hal-hal seperti inilah yang menjadi cobaan besar bagi pengurus PSSI saat ini. Adalah benar bahwa klub seharusnya bisa mencari dana sendiri. Tapi adalah sebuah kenyataan pula bahwa klub-klub tersebut ikut IPL salah satunya karena konsep konsorsium yang serasa angin surga bagi mereka. Dan pengurus PSSI mahfum akan hal ini.
Que sera-sera, what ever will be will be, kata biduanita Dorris Day, jangan sampai terus berlanjut. Seandainya dualisme tidak terjadi, mungkin masalah klub ini tidak terjadi sebab masih banyak solusi yang bisa diberikan. Hanya orang yang tak punya nuranilah yang tertawa lebar-lebar atas musibah yang menimpa klub, sekalipun bermain di liga yang "talak satu" dengan PSSI (baca: ISL).
Pada akhirnya, pelajaran yang bisa diambil dari sejarah adalah: revolusi pada prinsipnya sebuah ungkapan bahwa cara seperti ini harus jadi cara yang terakhir. Selanjutnya peralihan kepemimpinan biarkan berjalan dengan mekanisme biasa, termasuk masa jabatan dalam periode tertentu. Sebab meweujudkan cita-cita revolusi itu sungguh berat, teramat beratnya bahkan tidak bisa terwujud dalam waktu singkat.