Semua orang kini sudah tahu siapa itu La Nyalla Mahmud Mattalitti. Bermula dari orang asing di sepak bola, dia menjelma bak seorang yang sudah puluhan tahun bergumul di dalamnya. Dengan "pemahaman"-nya itu, kini dia dianggap pahlawan oleh pihak-pihak yang masih belum legowo atas kekalahan di Kongres PSSI 9 Juli lalu.
Saya pertama kali melihat wajah Nyalla di papan kampanye pinggir jalanan paling sibuk di Surabaya, Jalan Ahmad Yani, pada awal tahun 2009. Saat itu dia adalah calon anggota DPR nomor urut 1 dari Partai Patriot. Dengan kata lain, Nyalla adalah orang partai. Jabatannya: Ketua DPD Partai Patriot Jatim.
Apa hasil dari pemilihan umum itu? Seperti kita tahu, Patriot tak lolos Parlementary Treshold. Secara otomatis pula, Nyalla sudah kalah duluan sebelum bertanding. Berapapun suara yang didapatnya di Dapil 1 Jatim (Surabaya dan Sidoarjo), yang pasti tidak terlampau banyak, Â mustahil membuatnya melenggang ke Senayan.
Dari Surabaya sendiri, terpilih nama-nama tenar dalam kancah politik Indonesia. Guruh Soekarnoputra dari PDIP, Priyo Budi Santoso dari Golkar, serta Muhaimin Iskandar dari PKB. Meski begitu, ada pula nama-nama baru yang lolos. Misalnya Indah Kurnia yang meraih suara terbanyak kedua setelah Guruh di PDIP.
Indah Kurnia bukan siapa-siapa. Tapi orang Surabaya serta Bonekmania pasti mengenalnya. Indah adalah mantan manajer Persebaya. Dengan kata lain, terpilihnya Indah ini berkat sepak bola yang menjadi olahraga paling poppuler di Surabaya maupun Indonesia. Di saat yang sama, dalam pemilihan anggota DPRD Jatim, Saleh Ismail Mukadar juga menang. Saleh sendiri pada saat yang sama merupakan Ketua Umum Persebaya. Tapi untuk kasus Saleh, dia sudah terpilih sebagai anggota DPRD Jatim semenjak tahun 2004. Jadi bukan mendadak populer berkat sepak bola.
Perlawanan Saleh dan "Perjuangan" Nyalla
Masyarakat di Surabaya paham benar bahwa Persebaya "dimiliki" oleh PDIP. Dari walikota Bambang DH, Indah, hingga Mukadar adalah kader Partai Moncong Putih. Ketika Bambang terlalu sibuk mengurusi kota, dia menyerahkan Persebaya ke tangan wakilnya, Arif Affandi. Namun sayang, melihat gelagat mantan pemred Jawa Pos ini yang hendak mencalonkan diri jadi walikota, Bambang segera mengenyahkan Arif dari Persebaya dan memilih konco-nya, Saleh pada tahun 2008 lalu. Benar saja, Arif kemudian berlabuh ke Partai Demokrat dan menjadi calon wali kota pada pilkada 2010 lalu.
Selama kepemimpinan Saleh ini, sepakbola Surabaya dan Indonesia berubah wajah. Dari sebelumnya tanpa riak berarti mengganggu Nurdin Halid, kini ada suara-suara lantang dari Surabaya. Saleh kritis terhadap Nurdin. Atas keberaniannya ini, dia pun dimusuhi oleh rezim Nurdin.
Kita kemudian tahu bahwa bukan seorang Saleh yang diganggu. Tetapi, marwah Surabaya dan Bonek berupa klub bernama Persebaya. Segala cara dilakukan rezim PSSI agar tim ini degradasi supaya "suara sumbang" Saleh bisa melemah. Pikir mereka, Saleh pasti lebih mementingkan Persebaya ketimbang dirinya sendiri.
Tapi dugaan itu keliru adanya. Saleh makin kritis. Dia mewacanakan Nurdin diganti karena telah gagal memimpin PSSI. Diajukannya Dahlan Iskan, yang juga bekas Ketua Umum Persebaya.
Suara-suara Saleh ini pun tidak terdengar gaungnya. Semua anggota PSSI diam. Hingga kita ketahui bersama, datang Arifin Panigoro menawarkan angin surga dengan membuat kompetisi profesional. Persebaya pun dibawa Saleh menjadi klub primadona LPI. Terus terang, saat itu penduduk Surabaya pun terbelah. Keikutsertaan di LPI membahayakan Persebaya karena bermain di liga ilegal.