Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Priyanto: “Priyayi” Antagonis

27 Desember 2011   08:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan Prabu, Dicky, dan Prijanto hidup di zaman yang mana sebuah jabatan diperebutkan, bukan diminta. Mereka adalah politisi meski punya latar belakang berbeda-beda. Artinya, jika proses mendapatkan jabatan pada zaman Bung Hatta lebih bersifat bottom-up, maka pejabat sekarang boleh disebut top-down: keinginan menjabat bermula dari diri sendiri, baru meminta rakyat untuk merestui dalam pemilu. Atas dasar ini, kita boleh menduga, pilihan mengundurkan diri model ketiga orang ini punya motif politik, seperti yang dilakukan SBY tahun 2004 lalu.

Kita sah-sah saja meminta pejabat yang mundur itu supaya murni didasarkan atas bobot intelektual seperti halnya Bung Hatta. Tapi, sekiranya dasarnya adalah menarik simpati, saya kira hal ini pun tak masalah. Mengapa?

Saya kira ada ada dua alasan untuk ini. Pertama, ini jadi peringatan bagi atasan---karena ketiga contoh saya bukan pemegang jabatan tertinggi, melainkan cuma orang nomor dua---untuk bisa menjaga harmonisasi dengan wakilnya. Mereka tak boleh mengacuhkan anak buah dengan alasan apapun. Para wakil itu kalau perlu diberi tugas khusus dan publik pun harus diberi tahu.

Dengan begitu, apabila di kemudian hari para wakil itu mundur yang mana niat aslinya untuk cari sensasi, sang atasan telah mem-fait accomply sang bawahan. Publik tinggal diberi tahu tugas-tugas yang dilimpahkan pada sang wakil serta hasil-hasil apa yang diperoleh. Dengan begitu, niat mundur "negatif" itu boro-boro dapat simpati, justru sebaliknya.

Saya kira ini dilakukan oleh gubernur dan wagub Jawa Timur. Wagub Jatim Gus Ipul pernah mengatakan di koran lokal Surabaya bahwa tugasnya adalah terkait dengan seremonial dan media, sedangkan Pakde Karwo diserahi urusan teknis. Tak heran, kita melihat senyum Gus Ipul hingga di acara Stand Up Comedy. Padahal di daerah lain tugas ini jelas akan disukai oleh atasan yang mencari ajang menaikkan/mempertahankan popularitas. Sampai sekarang hubungan keduanya juga baik-baik saja. Siapa yang diuntungkan? Jelas warga Jatim!

Keuntungan kedua adalah seandainya sang atasan jelek, maka sang wakil yang mengundurkan diri dengan sendirinya menjadi antitesisnya. Apabila pemimpin suka ingkar janji, misalnya, itu karena sang wakil tidak diserahi tugas. Nah, manakala nanti sang wakil maju menantang mantan atasan, bisa saja dia memenangi pertarungan. Tinggal rakyat menunggu apakah benar dia bisa lebih baik ketimbang mantan atasannya.

So, apabila Priyanto memang ingin menaikkan popularitasnya---yang memang jarang didengar kiprahnya---itu bukan masalah. Yang penting, rakyat Jakarta akan diuntungkan nantinya. Mereka telah saksikan ternyata wagub berani bersikap antagonis khas Betawi meski yang bersangkutan adalah orang Jawa.

Ini mungkin kampanye efektif untuk Priyanto. Seandainya zaman dahulu jabatan pemimpin daerah dipegang oleh orang-orang priyayi, bisalah dikatakan  priyanto itu akronim dari "priyayi antagonis". Yakni pejabat-pejabat yang tidak sungkan menentang atasan, apalagi dengan cara ksatria: mundur. Tidak dengan merusak dari dalam.

Hal terakhir  ini kita temukan di kepengurusan PSSI sekarang yang mana ada beberapa orang  berlagak gagah berani menentang atasannya, sambil tetap memegang jabatan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Kalau untuk mereka-mereka ini pantaslah disematkan "nyalla" alias "penyanyi lagu lama": terus didendangkan meski basi!

(Untuk paragraf yang terakhir, tidak termasuk bagian inti tulisan. Jadi harap maklum jika berbau sentimentil dan agak maksa. He-he-he-he)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun