Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Priyanto: “Priyayi” Antagonis

27 Desember 2011   08:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setahun lalu, saya pernah menulis tentang GPH Prabukusumo yang mengundurkan diri dari posisi ketua Demokrat Yogya karena merasa harga dirinya direndahkan oleh pimpinan pusat Demokrat. Kalau dicermati, pilihan ini tentu di luar stereotip umum bahwa kalangan priyayi yang feodalistik menganggap kekuasaan sebagai pusaka yang harus dipertahankan mati-matian.

Kira-kira setahun setelah itu, paling tidak ada dua pejabat negara yang pengunduran dirinya mendapat pemberitaan besar. Pertama adalah wakil bupati Garut, Dicky Chandra. Mantan artis ini mundur karena merasa tidak sejalan dengan bupati. Sontak, banyak yang memuji-muji keputusannya mengingat jarangnya pejabat mau mengambil resiko tersebut.

Kasus kedua dan paling terbaru adalah wakil gubernur Jakarta. Priyanto, pendamping Fauzi Bowo sejak tahun 2007, tak ada angin tak ada salju, minta berhenti. Hingga hari ini, rencana ini mendapat perhatian besar dari media.

Berbeda dengan Dicky Candra yang dari sononya sudah terkenal, banyak yang berspekulasi, Priyanto mau mencari popularitas. Seperti kita tahu, delapan bulan lagi Jakarta akan melangsungkan pilkada untuk memilih gubernur baru. Inilah jabatan yang digadang-gadang diincar oleh mantan jenderal itu.

Mengundurkan diri ketika menjabat di Indonesia mungkin boleh dibilang luar biasa. Negeri ini tidak seperti negara Jepang, misalnya, yang memiliki tradisi itu. Tak heran, semua jabatan-jabatan penting, dari organisasi sepakbola hingga presiden, yang tak berprestasi apa-apa tetap dipegang oleh orang yang itu-itu saja.

Prabu, Dicky, dan Priyanto berlatar belakang profesi berbeda sebelum terjun jadi politisi. Terlepas dari motifnya, sikap mereka tentu bisa dijadikan inspirasi oleh pejabat lain. Bahwa jabatan bukanlah keris yang harus dipertahankan mati-matian sampai titik darah penghabisan.

Dalam sejarah Indonesia, tidak ada kisah pengunduran diri pejabat yang paling fenomenal selain yang dilakukan Bung Hatta tahun 1956. Dalam konteks saat itu, Bung Hatta bukan hanya seorang wakil presiden. Ia adalah juga proklamator dan pendiri republik ini. Karena itu, apabila Dwitunggal Sukarno-Hatta pecah bisa membuat Indonesia ini tercerai-berai.

Indikasinya memang sempat muncul kurang lebih setahun kemudian. Gabungan panglima daerah Dewan Banteng dan Dewan Gajah di Sumatera menuntut agar Bung Hatta kembali ke posisinya. Namun, belum sempat terwujud, para panglima mendeklarasikan PRRI yang memberontak terhadap pemerintah Juanda. Meski pengunduran diri Bung Hatta bukan faktor utama, kita bisa melihat betapa besar pengaruhnya dalam menjaga persatuan Indonesia.

Sikap Bung Hatta ini pun sering dijadikan contoh bagi kaum intelektual ketika meminta pemimpin mengundurkan diri. Betapa orang nomor dua di negeri ini saja tidak mengangap jabatan itu luar biasa, apalagi jabatan-jabatan di bawahnya.

Namun membandingkan politisi saat ini dengan Bung Hatta agaknya kurang tepat. Bung Hatta pada dasarnya seorang intelektual yang kebetulan tercebur ke politik sebagai alat perjuangan. Saat itu, kaum cerdik-pandai sekaligus juga pemimpin rakyat yang mayoritas buta huruf.

Watak alami Bung Hatta ini akan menganggap jabatan hanyalah sebagai sarana untuk mengabdikan ilmunya secara praktis. Kebetulan juga Bung Hatta adalah ekonom yang saat itu sangat langka di antara taburan ahli-ahli hukum. Jadi wajar, jika niatnya dirasa tidak digubris, mundur adalah pilihan terbaik.

Sedangkan Prabu, Dicky, dan Prijanto hidup di zaman yang mana sebuah jabatan diperebutkan, bukan diminta. Mereka adalah politisi meski punya latar belakang berbeda-beda. Artinya, jika proses mendapatkan jabatan pada zaman Bung Hatta lebih bersifat bottom-up, maka pejabat sekarang boleh disebut top-down: keinginan menjabat bermula dari diri sendiri, baru meminta rakyat untuk merestui dalam pemilu. Atas dasar ini, kita boleh menduga, pilihan mengundurkan diri model ketiga orang ini punya motif politik, seperti yang dilakukan SBY tahun 2004 lalu.

Kita sah-sah saja meminta pejabat yang mundur itu supaya murni didasarkan atas bobot intelektual seperti halnya Bung Hatta. Tapi, sekiranya dasarnya adalah menarik simpati, saya kira hal ini pun tak masalah. Mengapa?

Saya kira ada ada dua alasan untuk ini. Pertama, ini jadi peringatan bagi atasan---karena ketiga contoh saya bukan pemegang jabatan tertinggi, melainkan cuma orang nomor dua---untuk bisa menjaga harmonisasi dengan wakilnya. Mereka tak boleh mengacuhkan anak buah dengan alasan apapun. Para wakil itu kalau perlu diberi tugas khusus dan publik pun harus diberi tahu.

Dengan begitu, apabila di kemudian hari para wakil itu mundur yang mana niat aslinya untuk cari sensasi, sang atasan telah mem-fait accomply sang bawahan. Publik tinggal diberi tahu tugas-tugas yang dilimpahkan pada sang wakil serta hasil-hasil apa yang diperoleh. Dengan begitu, niat mundur "negatif" itu boro-boro dapat simpati, justru sebaliknya.

Saya kira ini dilakukan oleh gubernur dan wagub Jawa Timur. Wagub Jatim Gus Ipul pernah mengatakan di koran lokal Surabaya bahwa tugasnya adalah terkait dengan seremonial dan media, sedangkan Pakde Karwo diserahi urusan teknis. Tak heran, kita melihat senyum Gus Ipul hingga di acara Stand Up Comedy. Padahal di daerah lain tugas ini jelas akan disukai oleh atasan yang mencari ajang menaikkan/mempertahankan popularitas. Sampai sekarang hubungan keduanya juga baik-baik saja. Siapa yang diuntungkan? Jelas warga Jatim!

Keuntungan kedua adalah seandainya sang atasan jelek, maka sang wakil yang mengundurkan diri dengan sendirinya menjadi antitesisnya. Apabila pemimpin suka ingkar janji, misalnya, itu karena sang wakil tidak diserahi tugas. Nah, manakala nanti sang wakil maju menantang mantan atasan, bisa saja dia memenangi pertarungan. Tinggal rakyat menunggu apakah benar dia bisa lebih baik ketimbang mantan atasannya.

So, apabila Priyanto memang ingin menaikkan popularitasnya---yang memang jarang didengar kiprahnya---itu bukan masalah. Yang penting, rakyat Jakarta akan diuntungkan nantinya. Mereka telah saksikan ternyata wagub berani bersikap antagonis khas Betawi meski yang bersangkutan adalah orang Jawa.

Ini mungkin kampanye efektif untuk Priyanto. Seandainya zaman dahulu jabatan pemimpin daerah dipegang oleh orang-orang priyayi, bisalah dikatakan  priyanto itu akronim dari "priyayi antagonis". Yakni pejabat-pejabat yang tidak sungkan menentang atasan, apalagi dengan cara ksatria: mundur. Tidak dengan merusak dari dalam.

Hal terakhir  ini kita temukan di kepengurusan PSSI sekarang yang mana ada beberapa orang  berlagak gagah berani menentang atasannya, sambil tetap memegang jabatan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Kalau untuk mereka-mereka ini pantaslah disematkan "nyalla" alias "penyanyi lagu lama": terus didendangkan meski basi!

(Untuk paragraf yang terakhir, tidak termasuk bagian inti tulisan. Jadi harap maklum jika berbau sentimentil dan agak maksa. He-he-he-he)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun