Apa yang saya duga akhirnya terjadi. Rosihan tidak sanggung sendirian dan pagi tadi pergi meninggalkan dunia ini menyusul istri tercintanya.
Mengenal Rosihan Anwar bagi saya mungkin cuma lewat tulisan dan televisi. Ia penulis yang produktif. Tidak hanya tentang dirinya dan pengalaman berjibun yang telah dilalui, ia juga banyak terlibat dalam penulisan buku-buku biografi teman seperjuangannya.
Rosihan terlalu beruntung menurut saya. Ia diberi umur panjang untuk berada dalam masa-masa penting republik ini. Begitupun pergaulannya bersama tokoh-tokoh pembuat sejarah yang kepalang banyak itu.
Tapi mungkin bisa dikata tidak enak juga umur yang panjang. Dalam periode itu, sudah berapa banyak disaksikannya mereka yang pergi ke alam baka. Seolah-olah sang waktu sengaja memberinya kesempatan dalam rentetan duka-duka itu.
Bagi generasi terbaru tentu hidup lamanya Rosihan sangat bermanfaat. Sebab generasi baru jarang tahu tokoh-tokoh pemberi warna negeri ini. Katika mereka menghadap Penciptanya, seolah bersamaan terkubur pula kisah mereka. Di sinilah Rosihan muncul dengan tulisan kenangannya di berbagai media. Terkadang ketika membacanya, saya bertanya dalam hati: kapankah si penulis ini menyusul mereka?
Rosihan dan sosialisme
Rosihan adalah seorang sosialis. Ia kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) bentukan Sutan Syahrir. Tapi, saya ragu dia adalah sosialis tulen—seperti keraguan banyak orang terhadap kader-kader PSI. Banyak pandangan negatif terhadap orang PSI yang terkesan elitis dan bergaya hidup burjois yang sangat bertolak belakang dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang sosialis.
Saya pernah membaca tulisan Mochtar Lubis yang menyerang orang-orang PSI itu. Menurutnya mereka tidak pantas menjadi sosialis karena kerjanya minum wiski dan suka pesta. Apakah itu ditujukan salah satunya kepada Rosihan saya tidak tahu. Tapi, siapa pun tahu orang-orang PSI kemudian hanya menjadikan sosialis tak lebih dari sekedar gaya hidup itu sendiri.
Dari segi intelektualitas tidak ada yang meragukan mereka. Meski suara Pemilu 1955 kurang dari 3 persen, Syahrir telah berhasil membuat organisasi kecil tapi berpengaruh besar. Sayang, PSI dibubarkan karena beberapa kadernya terlibat PRRI dan Syahrir ditahan karena dituduh ikut mendalangi upaya pembunuhan Bung Karno.
Baru di awal Orde Baru orang-orang PSI berhasil mendapat jabatan politik. Sumitro, Soedjatmoko, dan lainnya menjadi tulang punggungnya Soeharto. Hanya, Rosihan tidak sempat memperolehnya termasuk keinginan menjadi menteri penerangan dan ketua PWI.
Meski begitu, Rosihan tidak perlu semua jabatan-jabatan yang tidak kekal itu. Warisnya kemudian bukanlah berapa banyak jabatan yang disandangnya; setinggi apa jenjang karirnya. Tapi seperti pada awal tulisan ini, Rosihan telah menjadi penghubung generasi sekarang dengan generasinya.
Bukankah ratusan atau ribuan pejabat yang dilahirkan negeri ini? Tapi mereka tidak mampu memberi seperti yang Rosihan lakukan. Saya hanya menganggap impian jadi birokrat sebagai tuntutan bawah sadar feodalismenya. Mungkin begitulah orang-orang PSI seperti dikatakan Mochtar Lubis juga: sosialis hanya sebagai slogan.
Katakan pada Syahrir
Kini telah pergi ia menyusul teman seperjuangan. Hanya lewat buku kita akan tahu tentangnya. Saya kebetulan pernah membaca Petite Histoire alias sejarah kecil ketika SMA dulu dan buku-buku lainnya. Tulisannya khas wartawan: pendek-pendek dan berbahasa ringan.
Tapi mungkin semua kita dapat mengikuti jejak Rosihan. Kita catat sejarah kecil dari hidup kita di Kompasiana ini misalnya. Sebab bukan soal besar-kecilnya sejarah itu yang penting melainkan apakah secuil sejarah bisa kita jadikan pelajaran dalam hidup kita di masa depan.
Kini sang penulis in memoriam dan wartawan lima zaman—seperti yang sering ditulisnya—itu telah tiada. Dalam Memornya di majalah Tempo beberapa waktu lalu ia begitu bangga menyatakan diri sebagai seorang sosialis dan pengikut Sutan Syahrir. Kini, temuilah gurumu itu, Rosihan!
Ceritakan padanya bagaimana negeri ini sekarang. Katakan pada Bung Kecil bahwa pemimpin negeri ini tidak lagi peduli rakyat. Katakan juga bahwa ekonomi kerakyatan-nya hanya dijadikan pemanis saat kampanye berlangsung. Beri tahu pula mengapa Gayus Tambunan, Melinda Dee, Cirus Sinaga bisa muncul di negeri yang telah dimerdekakannya ini.
Telah pergi engkau yang biasanya menulis in memoriam. Esok, aku akan menanti siapa gerangan yang menulis tentang engkau. Selamat jalan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H