Puisiku adalah nawaitu cinta dan rindu menggebu-gebu
pada Sang Maha Kekasih yang s’lalu termesra kucumbu
di atas sajadah, kitab suci, tasbih, doa, sunnah maupun fardu
juga kekasih di alam nyata maupun dunia maya yang palsu
antara Dia, dia dan aku, puisiku titik tumpu dan penyatu padu
pandu Sang Pemberi Wahyu, belenggu pencegah dari jalan keliru
Puisiku adalah ibu, maharatu, masayu nan anggun dan ayu
yang membesarkanku dengan kasih sayang, susu, madu, keju
juga dengan pangku, pacu, bantu, ilmu, wudhu, sujud, dan ruku’
mengajariku rambu-rambu pembeda perilaku halal dari yang tabu
dialah mahaguru, sokoguru, dan lampu yang tak pernah luyu
pembujuk rayu menuju belantara hidup pangestu dan rahayu
Puisiku adalah jamu narwastu ampuh pemberi energi terbaru
peredam nyeri tumorku yang seakan disayat-sayat sembilu
pembasmi benci dan murka yang kerap bersarang di kalbu
penyemai tunas-tunas asmara di ladang hati yang syahdu
telutur yang lebih menghanyutkan dari seribu buluh perindu
perindu dahsyat bagi jiwa-jiwa yang sekarat di kaldera nafsu
Ah, namun seringkali pula puisiku memicu air mata pilu
membuatmu terkapar di lembah tangis haru dan sedu
jika itu terjadi pada dirimu, tolong maafkan aku
itu sama sekali bukan mauku
kar’na bukan aku yang menulis puisiku
puisikulah yang menulisku
Bumi Allah, 13 Juli 2014
Rewritten: 23 April 2015
Puisi ini juga ditulis di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H