Dalam pluralisme, kerap juga dicakup fenomen multikultural yang menjadi emblem peradaban hidup manusia dewasa ini. Di belahan dunia Eropa, Amerika dan Australia kehadiran para emigran menandai perubahan tidak hanya komposisi jenis manusia, melainkan juga meracik tampilnya keanekaragaman budaya yang untuk selanjutnya juga nilai-nilai. Di Indonesia, multikulturalisme hampir selalu menjadi ketegangan seputar perkara-perkara sensitif suku, ras, dan agama. Yang pasti multikulturalisme menciptakan ruang-ruang nilai baru yang menjadi pergulatan manusia zaman ini.
[1] Gerard Valee, A Study in Anti Gnostic Polemics (Waterloo, Can: Wilfrid Laurier University Press, 1981), hal. 99. Kutipan diambil dari Harold Coward, Pluralism. Challenge to World Religions (New York: Orbis            Books, 1985), hal. 20.
[2] Lucient Richard, What Are They Saying about Christ and World Religions? (New York: Paulist Press, 1981), hal. 6-7. Lihat Ibid., hal. 17.
[3] Lihat juga Stanislaw Celestyn Napiorkowski, "'Christus Solus Nunquam Solus': Toward Reinterpretation of the Principle 'Solus Christus'", dalam Journal of Ecumenical Studies, 20:1, Winter 1983, hal. 454-476.
[4] Karl Barth, "The Revelation of God as the Abolition of Religion", dalam Christianity and Other Religion, no. 32. Artikel tersebut dari bab 17 no. 2 tentang "The Doctrine of the Word of God", vol 1 dari Church Dogmatics (Edinburgh: Clark, 1961). Kutipan dari Harold Coward, Op. Cit., hal. 24.
[5] Ernst Troeltsch, "The Place of Christianity among the World Religions", dalam John Hick & Brian H. (eds.), Christianity and Other Religions (Glasgow: Funt, 1980), hal. 11-31.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H