Tetapi, di luar ranah dogmatik, ungkapan eksklusivisme paling jelas tampak dalam adagium extra ecclesiam nulla salus. Walaupun ungkapan ini pada awal kemunculannya bersifat apologetis (untuk membela ajaran kebenaran iman), tetapi kemudian tumpang tindih dengan peradaban ideologis kekuasaan Barat atas wilayah-wilayah yang baru ditemukan merupakan realitas yang tak terelakkan.
Adagium ini pertama kali berasal dari Santo Cyprianus (abad 3), di mana pada waktu itu konsep tentang agama-agama di luar Kekristenan tidak atau belum ada. Dengan ungkapan itu Cyprianus hendak mengatakan perihal baptisan yang diberikan oleh para bidaah (yang mengucilkan diri dari Gereja yang benar) sebagai salah dan tidak membawa kepada keselamatan. Pandangan Cyprianus (dan kemudian juga para Bapa Gereja yang lain, seperti Irenaeus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes) bertolak dari pemikiran bahwa Gereja merupakan "bahtera" Nuh yang menyelamatkan para penghuni di dalamnya. Yang memisahkan diri dari sendirinya juga menjauhkan diri dari keselamatan itu sendiri. Santo Agustinus juga mengatakan yang serupa bahwa di luar Gereja Katolik ada apa saja, kecuali keselamatan. Ungkapan itu sesungguhnya hanyalah "pagar" untuk mencegah di satu pihak keluarnya umat Kristen dari ajaran yang benar tentang iman Kristen, dan di lain pihak ingin meyakinkan kesesatan padangan-pandangan para bidaah dan kaum gnostis.
Tetapi salah tafsir mengenai adagium itu tak terelakkan lebih-lebih di abad kolonialisme. Penafsiran berubah makin meluas, yakni di luar iman kepada Kristus atau bahkan di luar Gereja (Katolik), tidak ada keselamatan. Tentu saja akibatnya Gereja terkurung dalam eksklusivisme.
Menurut Harold Coward, pemutlakan iman Kristen bagi keselamatan menemukan bentuk sistematisasi teologisnya pada pandangan Karl Barth (1961)[4], seorang teolog Protestan terkemuka abad ini. Pandangan Barth dapat dikatakan menjadi wakil bentuk baru eksklusivisme teologi Kristen dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Barth bertolak dari pandangan bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan wahyu Allah. Dalam diri Kristus, penyataan diri Allah kepada manusia menjadi konkret, final, dan definitif. Karena itu satu-satunya perbedaan agama Kristen dan agama-agama lain ialah bahwa agama Kristen berdiri di tempat terang, sementara agama-agama lain dalam bayang-bayang.
Barth menganalogikan Kristus bagai matahari yang menerpa bumi, satu bagian terkena (agama Kristen) dan bagian yang lain ada dalam bayang-bayang (agama-agama lain). Barth menegaskan pandangannya dengan mengadakan penilaian teologis atas umat manusia sebagai subjek semua agama. "Bagi manusialah, entah dia mengetahui atau tidak, Yesus Kristus lahir, wafat, dan bangkit kembali. Bagi manusialah, entah dia mendengarnya atau tidak, Firman Allah diperuntukkan. Dan manusialah, entah dia menyadari atau tidak, yang menemukan Allahnya dalam Kristus." Yang hendak ditegaskan Karl Barth ialah bahwa rahmat itu hanya dalam kaitannya dengan Yesus Kristus. Rahmat bagi manusia mengalir dari Salib Kristus. Karena rahmat yang dianugerahkan kepada manusia tidak terlepas dari Kristus, arti rahmat menurut Barth di sini berbeda dengan apa yang dimaksudkan paham rasionalisme Hegel dan Kant sebagai suatu kesalehan fanatik, atau seperti paham relativisme Troeltsch sebagai gerakkan kesadaran manusiawi menuju kesempurnaan. Barth yakin, hanya dalam Yesus Kristus kita mengalami Rahmat yang mendamaikan kita dengan Allah.
Relativisme. Pemutlakan relativisme merupakan cetusan kebalikan sikap eksklusivisme. Relativisme memaksudkan keterbukaan. Dalam keterbukaan dicakup pengertian bahwa keselamatan dapat diraih di luar agama Kristen. Pemutlakan relativisme memandang bahwa semua agama pada prinsipnya sama saja. Semua agama mengantar dan mengarahkan manusia kepada keselamatan. Sebab agama pada umumnya mempunyai keserupaan maksud sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan. Dengan pemutlakan relativisme dimaksudkan teori relativisme agama yang digarap secara sistematis oleh Troeltsch (1980)[5]. Troeltsch di sini dapat dipandang sebagai wakil para teolog yang mengajukan pandangan sikap relatif iman Kristen dalam hubungannya dengan agama-agama lain.
Dalam teorinya tentang relativisme agama, Troeltsch memandang kemunculan agama dalam perspektif evolusioner belaka. Maksudnya agama bagi Troeltsch hanyalah merupakan proses wajar atau proses evolutif dari kerinduan manusia menuju kesempurnaan. Proses menuju kesempurnaan dikatakannya sebagai proses manusiawi dan universal. Seluruh sejarah manusia terdiri dari gerakan semacam ini. Dari sebab itu gerakan ini (agama) tidak dapat ditiadakan. Gerakan ini dapat bersifat temporal (misalnya gerakan mesianisme) dapat pula bersifat permanen (agama-agama yang melembaga) atau tradisional (budaya atau kultus). Dalam teori ini, dari sendirinya, agama-agama itu sama saja. Kesamaannya terletak pada sifat relatifnya, agama muncul sebagai proses gerakan manusiawi. Dengan demikian, dalam paham ini, ditolak segala macam bentuk eksklusivisme. Bila semua agama sama saja, pemutlakan kebenaran menjadi sia-sia. Wahyu tidak ada yang mutlak. Kebenaran dalam agama-agama karenanya bersifat relatif.
Bila teori mengenai pemutlakan relativisme ini diterapkan pada agama Kristen dalam hubungannya dengan agama-agama lain, maka Yesus Kristus menduduki posisi yang tidak berbeda dengan tokoh-tokoh pendiri agama-agama lain atau tidak lebih sebagai pencetus gerakan kesempurnaan seperti yang lainnya. Troeltsch tidak menyangkal konsekuensi dari teorinya itu. Menurutnya, Yesus Kristus tidak dapat disamakan dengan Allah begitu saja. Ia serupa dengan para pendiri agama yang lain, yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk evolusi munculnya agama Kristen. Pandangan Troeltsch tentang pemutlakan relativisme ini merupakan kutub lain sikap teologi Kristen terhadap agama-agama lain.
Dalam banyak hal, teori ini memang dengan mudah mengantar kepada dialog interreligius. Tetapi relativisme agama tampaknya tidak banyak disukai, sebab sangat gampang menjerumuskan orang kepada sikap-sikap indiferentisme. Penulis melihat suatu pandangan yang melegakan banyak pihak tidak dari sendirinya melukiskan genuitas dan otentisitas kedalaman penghayatan iman. Almarhum Yohanes Paulus II ketika ada dihadapan ribuan pemuda-pemudi Maroko di sebuah stadion di Casablanca (1987), disamping terharu sambil mengucapkan terimakasih, berkata di awal pidatonya, bahwa dirinya adalah seorang Katolik yang bangga akan imannya. Dan, dengan iman Katolik yang dihayatinya, ia mengulurkan tangan untuk bekerjasama membangun dunia yang lebih baik, lebih damai, lebih manusiawi.
- 2. PLURALISME
“Relativistic themes are frequently defended under alternative banners like ‘pluralism’ or ‘constructivism’ (with a particular author's line between relativism and pluralism typically marking off those views he likes from those he doesn't),” demikian kata Chris Swoyer.
Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, Chris Swoyer menulis bahwa tema-tema relativistik kerap dibela dalam jargon-jargon seperti pluralisme dan konstruktivisme (http://plato.stanford.edu/ contents.html#r akses tanggal 9 Maret 2010). Tidak sepenuhnya tepat yang ditulis oleh Swoyer. Sebab, pluralisme memiliki cakupan pemahaman yang tidak linear, tidak tunggal. Pluralisme adalah konsep tentang realitas yang dewasa ini menjadi pergumulan hangat terutama dalam ranah teologi. Berbeda dengan Chris Swoyer, saya meletakkan tema pluralisme dalam kaitannya dengan pergumulan teologis.